MORFOMETRI
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Morfometri tradisional adalah perbandingan antara univariate karakter meristik dan morfometrik seperti panjang tubuh, lebar tubuh, dan tinggi tubuh yang mampu mengidentifikasi perbedaan antar species. Kekurangannya dari morfometri tradisional yaitu seringkali gagal mengidentifikasi perbedaan antara galur populasi (Winans, 1984).
Truss morphometrics yaitu upaya menggambarkan bentuk ikan dengan cara mengukur bagian-bagian dari tubuhnya atas dasar titik-titik patokan. Kelebihan dari truss morphometrics adalah memberikan gambaran yang lebih menyeluruh dan menghasilkan karakterisasi geometrik bentuk tubuh ikan secara lebih sistematis dan menunjukkan peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan bentuk tubuh (Straus, 1982).
Contoh ukuran bagian-bagian tubuh penting yang mendukung karakter morfologi ikan nilem yaitu panjang antara mulut dengan pertengahan bagian ekor, titik maxilla dorsa dan maxilla ventral, titik maxilla dorsal dengan pangkal operkulum bagian ventral, titik maxilla dorsal dengan pangkal operkulum bagian dorsal, titik maxilla ventral dengan pangkal operkulum bagian ventral, titik maxilla ventral dengan pangkal operkulum bagian dorsal dan lain sebagainya (Straus, 1982).
Ikan Nilem adalah ikan organik yang artinya tidak membutuhkan pakan tambahan atau pellet. Ikan Nilem termasuk ikan pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora). Larva yang baru menetas biasanya memakan jenis zooplankton yaitu rotifer. Sedangkan benih dan ikan dewasa memakan tumbuh-tumbuhan air seperti chlorophyceae, characeae, ceratophyllaceae, polygonaceae (Susanto, 2006).
B. Tujuan
Tujuan dari praktikum morfometri adalah mengenal karakter morfologi pada hewan avertebrata dan vertebrata yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan detereminasi, mengukur bagian morfologi tubuh yang penting pada hewan avertebrata dan vertebrata di setiap fase pertumbuhannya sehingga informasi untuk melakukan determinasi taksa menjadi lebih lengkap dan akurat dan menerapakan teknik truss morphometrics pada ikan, agar mendapatkan gambaran tubuh lebih menyeluruh.
II. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah jarum preparat, bak preparat, sterofoam, lup, jangka sorong, kertas hvs dan alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum morfometri adalah ikan nilem (Osteochillus hasselti).
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Ikan Nilem (Osteochillus hasselti)
B. Pembahasan
Morfometri merupakan peneraan atau pengukuran morfologi yang meliputi ukuran panjang dan berat, serta skala kondisi fisik berdasarkan standar morfologi tubuh. Morfometri dimaksudkan untuk mengukur bagian tubuh yang penting pada hewan agar diketahui kisaran ukurannya, di setiap fase pertumbuhan pada masing-masing jenis spesies hewan sehingga informasi untuk determinasi taksa menjadi lebih lengkap dan akurat (Winans, 1984).
Metode analisis morfologis tradisional yaitu perbandingan antara univariate karakter meristik dan morfometrik seperti panjang tubuh, lebar tubuh, dan tinggi tubuh, yang mampu mengidentifikasi perbedaan antar species, sering kali gagal mengidentifikasi perbedaan antara galur atau populasi. Karakter morfometri baku yang terkonsentrasi pada ukuran-ukuran panjang dan bagian kepala, badan dan ekor menghasilkan pola gambaran bentuk tubuh yang cenderung bias (Winans, 1984).
Teknik truss morphometrics merupakan salah satu upaya menggambarkan bentuk ikan dengan cara mengukur bagian-bagian dari tubuhnya atas dasar titik-titik patokan. Pengukuran karakter morfometrik dengan pola truss network menberikan gambaran yang lebih menyeluruh. Metode ini menghasilkan karakterisasi geometri bentuk tubuh ikan secara lebih sistematik dan menunjukan peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan bentuk tubuh (Strauss dan Bookstein, 1982). Patokan titik truss pada tubuh ikan sebanyak 11 buah yang meliputi : pangkal rahang bawah, pangkal moncong bawah, pangkal moncong atas, batas antara kepala dengan badan (ujung dorsal kepala), dst.
Ikan Nilem (Osteochillus hasselti ♀), menurut Radiopoetro (1977) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Classis : Pisces
Subclass : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Cyprinoidae
Famili : Cyprinidae
Genus : Osteochillus
Spesies : Osteochillus hasselti
Ikan Nilem adalah salah satu spesies ikan yang masuk dalam famili Cyprinidae, sehingga bentuk tubuh ikan nilem hampir serupa dengan ikan mas, hanya kepalanya relative lebih kecil. Pada sudut-sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut-sungut peraba. Sirip punggung disokong oleh 3 jari-jari keras dan 12 - 18 jari-jari lunak. Sirip ekor bercagak dua, bentuknya simetris. Sirip dubur disokong oleh 3 jari-jari keras dan 5 jari-jari lunak. Sirip perut disokong oleh 1 jari-jari keras dan jari-jari lunak. Sirip dada disokong oleh 1 jari-jari dan 13 – 15 jari-jari lunak. Jumlah sisik-sisik gurat sisi ada 33 – 36 keping (Djuhanda, 1982).
Ikan Nilem dapat mencapai panjang tubuh 32 cm, warna tubuhnya hijau abu-abu. Ikan Nilem memiliki popularitas sedikit di bawah ikan mas. Ikan nilem dikenal dengan nama lain ikan Lehat, Regis dan Penopa di berbagai daerah lain (Halfman, 1994).
Ikan Nilem adalah ikan organik yang artinya tidak membutuhkan pakan tambahan atau pellet. Ikan nilem termasuk ikan pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora). Larva yang baru menetas biasanya memakan jenis zooplankton (hewan yang berukuran kecil atau mikro yang hidup di perairan dan bergerak akibat arus perairan) yaitu rotifer. Sedangkan benih dan ikan dewasa memakan tumbuh-tumbuhan air seperti chlorophyceae, characeae, ceratophyllaceae, polygonaceae (Mayr, 1982).
Ikan mempunyai alat gerak berupa sirip yang terdiri dari dorsal fin (sirip punggung), sepasang pectoral fin (sirip dada), sepasang abdominal fin (sirip perut) dan anal fin (sirip yang terdapat di depan porus urogenitalis) serta sebuah caudal fin (sirip ekor). Sirip ikan terdiri atas sirip tunggal dan sirip berpasangan. Sirip tunggal terdiri atas dorsal fin, anal fin dan caudal fin. Sirip berpasangan terdiri atas pectoral fin dan abdominal fin (Hilderbrand, 1974).
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kekurangannya dari morfometri tradisional yaitu seringkali gagal mengidentifikasi perbedaan antara galur populasi.
2. Kelebihan dari truss morphometrics adalah memberikan gambaran yang lebih menyeluruh dan menghasilkan karakterisasi geometrik bentuk tubuh ikan secara lebih sistematis.
3. Ikan nilem adalah salah satu spesies ikan yang masuk dalam famili Cyprinidae, sehingga bentuk tubuh ikan nilem hampir serupa dengan ikan mas, hanya kepalanya relative lebih kecil.
DAFTAR REFERENSI
Djuhanda, T. 1982. Anatomi dari Empat Species Hewan Vertebrata. Armico, Bandung.
Hilderbrand, M. 1974. Analysis of Vertebrata Structure. John Wiley and Sons Inc, USA.
Mayr, Ernest. 1982. Principles Of Systematic Zoologi. New Delhi, Tata McGraw-Hill Publishing Company.
Radiopoetro. 1990. Zoologi. Erlangga, Jakarta.
Soeseno, S.1985. Pemeliharaan Ikan di Kolam Pekarangan. Kanisius. Yogyakarta.
Susanto, H. 2006. Budidaya Ikan di Pekarangan edisi Revisi. Penebar Swadaya.
Helfman, G. S. 1994. The diversity of Fishes. Blackwell Science. Berlin.
Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I. Bina Tjipta, Bandung.
Learn from yesterday, live for today, hope for tomorrow
Blog ini buat kamu-kamu yang butuh Laporan Praktikum dan teman-temannya
Rabu, 18 Mei 2011
Minggu, 03 April 2011
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
Acara praktikum : Peranan auksin terhadap perakaran stek
Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi zat pengatur tumbuh IAA dan NAA serta akuades.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum ternyata didapatkan hasil bahwa pemberian IAA dengan konsentrasi 60 ppm menunjukan pertumbuhan jumlah akar yang paling optimum dengan pertumbuhan jumlah akar 6, dengan panjang akar terpanjang 2,5 cm. Pemberian NAA dengan konsentrasi 40 ppm dan 60 ppm menunjuk pertumbuhan jumlah akar yang optimum dengan panjang akar 2 cm. Berdasarkan Salisbury dan Ross (1985), IAA yang terdapat di akar pada konsentrasi yang hampir sama dibagian tumbuhan lainnya. Pemberian auksin dengan konsentrasi 10-7 sampai 10-13 M mampu memacu pemanjangan akar pada banyak spesies. Konsentrasi IAA yang lebih tinggi (tapi masih cukup rendah antara 1-10 µM) menyebabkan pertumbuhan akar terhambat.
Auksin utama adalah indole-3 acetic acid (IAA) (Hopkins,1995) sedangkan Naphtalene Acetyl Acid (NAA) adalah auksin buatan. IAA dan NAA selain memacu perpanjangan sel juga menyebabkan perpanjangan koleoptil dan batang. Distribusi IAA dalam organ tumbuhan (akar dan batang) tidak merata, sehingga akan menyebabkan perbesaran sel yang tidak sama dan disertai dengan pembengkakan organ (geotropisme dan Fototropisme). Sintesis IAA terjadi dalam 3 tahap yaitu Konversi triptofan menjadi indole 3 pyruvic acid (IPA), karboksilasi IPA menjadi indole 3 acetaldehyde (IAAid), IAAid dioksidasi menjadi IAA oleh Nad-dependen indole-3 acetaldehyde dehidrogenase.
IAA adalah endogenous auksin yang terbentuk dari triptofan yang merupakan suatu senyawa dengan inti Indole dan selalu terdapat dalam jaringan tanaman. Di dalam proses biosintesis, triptofan berubah menjadi IAA dengan membentuk Indole Pyruvic Acid dan Indole-3-Acetaldehyde. IAA ini dapat pula terbentuk dari Triptamine yang selanjutnya menjadi Indole-3-acetaldehyde, selanjutnya menjadi Indole-3-acetid acid (IAA). Perubahan dari Indole-3-acetonitrile menjadi IAA dengan bantuan enzyme nitrilase prosesnya masih belum diketahui (Abidin, 1985).
Menurut Gardner et al.(1985), respon auksin berhubungan dengan konsentrasinya. Konsentrasi yang tinggi bersifat menghambat yang dapat dijelaskan sebagai persaingan untuk mendapatkan peletakan pada tempat kedudukan penerima yaitu penambahan konsentrasi meningkatkan kemungkinan terdapatnya molekul yang sebagian melekat menempati kedudukan penerima yang menyebabkan kurang efektifnya gabungan tersebut. Auksin (IAA) berpengaruh terhadap jumlah dan panjang akar, jumlah daun dan jumlah plantlet. Pemberian IAA berakibat pada jumlah akar yaitu menghambat dalam mempengaruhi pembentukan akar pada eksplan, dan menyebabkan jumlah akar menjadi sedikit. Akar pada dasarnya terhambat pada hampir semua kisaran hormon. Respon pemberian IAA sangat bervariasi tergantung pada kepekaan organ tanaman. Batang merespon konsentrasi auksin dalam kisaran yang cukup lebar.
Auksin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh tanaman (plant growth regulator) yang aktivitasnya dapat merangsang atau mendorong pengembangan sel. Keberadaan IAA (Indole Acetic Acid) di alam dapat diidentifikasikan sebagai auksin yang aktif di dalam tumbuhan (endogenous) yang diproduksi dalam jaringan meristematik yang aktif. Contoh IAA dapat ditemukan ditunas, sedangkan IBA (Indole Butyric Acid) dan NAA (Naphtaleneacetic acid) merupakan auksin sintetis (Hoesen et al., 2000).
Menurut Dwidjoseputro (1992) salah satu fungsi auksin adalah sebagai herbisida. Fungsi auksin yang lain menurut Delvin (1968), berperan pada perpanjangan sel, apikal dominansi, inisiasi akar, partenokarpi, absisi dan respirasi. Lebih lanjut Heddy (1989), menjelaskan pengaruh fisiologi auksin pada tumbuhan yaitu :
a. pemanjangan sel
IAA dan auksin lain merangsang pemanjangan sel dan juga dapat berakibat pada pemanjangan koleoptil batang.
b. tunas ketiak
IAA yang dibentuk pada meristem apikal dan ditransport ke bawah dapat menghambat perkembangan tunas ketiak (lateral). Jika meristem apikal dipotong, tunas lateral akan berkembang.
c. absisi daun
Daun akan terpisah dari batang jika sel-sel pada daerah absisi mengalami perubahan kimia dan fisik.
d. aktivitas kambium
Auxin merangsang pembelahan sel dalam darah kambium.
e. tumbuh akar
Dalam akar, pengaruh IAA biasanya menghambat pemanjangan sel, kecuali pada konsentrasi yang sangat rendah.
Mekanisme auksin menurut Darmawan dan Baharsjah (1983), pada banyak tanaman pucuk lateral tidak mau tumbuh bila pucuk terminalnya utuh. Pucuk terminal apabila dipotong akan membuat pucuk lateral tumbuh. Pemotongan pucuk terminal akan menghasilkan auksin dalam jumlah besar sehingga konsentrasinya menghambat pertumbuhan pucuk lateral. Auksin yang dibentuk dalam ujung koleoptil bergerak ke bawah (basipetal). Pergerakan auksin hanya ke satu arah yaitu ke bawah atau menjauhi ujung pucuk. Lebih lanjut Hopkins (1995), sintesis auksin memerlukan Zn sebagai katalisator.
Menurut Wattimena (1987) dan Wareing dan Philips (1981) konsentrasi auksin yang diperlukan untuk pertumbuhan relatif tinggi daripada kebutuhan auksin untuk pertumbuhan akar. Pertumbuhan akar hanya akan dihambat oleh auksin pada tingkat konsentrasi yang memacu pertumbuhan batang faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan auksin endogen dapat memacu pertumbuhan hanya bila faktor-faktor lingkungan ini juga menghambat sintesis etilen. Menurut Tjitrosoemo (1994), faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap pemanjangan batang adalah suhu dan intensitas cahaya, sedangkan pada pemanjangan akar dipengaruhi oleh pasokan fotontesis (umumnya dalam bentuk sukrosa).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan mengenai praktikum kebutuhan auksin dalam tanaman adalah sebagai berikut :
1. Efektivitas IAA lebih tinggi bila dibandingkan dengan NAA dalam memacu pertumbuhan akar.
2. Konsentrasi optimum IAA untuk akar pada konsentrasi 60 ppm lebih optimum dibandingkan NAA dan akuades.
Daftar Referensi
Abidin, Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Penerbit Angkasa, Bandung.
Delvin, R. M. 1968. Plant Physiology. Peinhold Book Corporation, London.
Darmawan. J & Baharsjah J. S. 1983. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman. PT Suryandaru Utama, Jakarta.
Dwidjoseputro, D. 1992. Pengantar Fisiologi TUmbuhan. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV. Rajawali, Jakarta.
Gardner, F. P., R.B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1985. Physiology of Crop Plants. The Iowa State University Press, USA.
Hoesen, D. S. H. Sumarnie, H. Priyono. 2000. Peranan Zat Pengatur Tumbuh IBA, NAA dan IAA Pada Perbanyakan Amarilis Merah ( Amarillidaceae). LIPI Bogor.
Heddy, S. 1983. Hormon Tumbuhan. CV Rajawali, Jakarta.Hopkins, W. G. 1995. Introduction to Plant Physiology. John Wiley & Sons. Inc, USA.
Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1985. Plant Physiology Third Edition. Wadsworth Publishing Company, California.
Supeni, T. 1997. Biologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Tjitrosoemo, S. 1994. Botani Umum 1. Angkasa, Bandung.
Wareing, P.F. dan Philips, I. D.J. 1981. The Control of Growth and Differentiation in Plant. Pergamon Press, Oxford.
Wattimena, G. A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh. PAU Bioteknologi IPB, Bogor.
Acara praktikum : Peranan auksin terhadap perakaran stek
Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi zat pengatur tumbuh IAA dan NAA serta akuades.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum ternyata didapatkan hasil bahwa pemberian IAA dengan konsentrasi 60 ppm menunjukan pertumbuhan jumlah akar yang paling optimum dengan pertumbuhan jumlah akar 6, dengan panjang akar terpanjang 2,5 cm. Pemberian NAA dengan konsentrasi 40 ppm dan 60 ppm menunjuk pertumbuhan jumlah akar yang optimum dengan panjang akar 2 cm. Berdasarkan Salisbury dan Ross (1985), IAA yang terdapat di akar pada konsentrasi yang hampir sama dibagian tumbuhan lainnya. Pemberian auksin dengan konsentrasi 10-7 sampai 10-13 M mampu memacu pemanjangan akar pada banyak spesies. Konsentrasi IAA yang lebih tinggi (tapi masih cukup rendah antara 1-10 µM) menyebabkan pertumbuhan akar terhambat.
Auksin utama adalah indole-3 acetic acid (IAA) (Hopkins,1995) sedangkan Naphtalene Acetyl Acid (NAA) adalah auksin buatan. IAA dan NAA selain memacu perpanjangan sel juga menyebabkan perpanjangan koleoptil dan batang. Distribusi IAA dalam organ tumbuhan (akar dan batang) tidak merata, sehingga akan menyebabkan perbesaran sel yang tidak sama dan disertai dengan pembengkakan organ (geotropisme dan Fototropisme). Sintesis IAA terjadi dalam 3 tahap yaitu Konversi triptofan menjadi indole 3 pyruvic acid (IPA), karboksilasi IPA menjadi indole 3 acetaldehyde (IAAid), IAAid dioksidasi menjadi IAA oleh Nad-dependen indole-3 acetaldehyde dehidrogenase.
IAA adalah endogenous auksin yang terbentuk dari triptofan yang merupakan suatu senyawa dengan inti Indole dan selalu terdapat dalam jaringan tanaman. Di dalam proses biosintesis, triptofan berubah menjadi IAA dengan membentuk Indole Pyruvic Acid dan Indole-3-Acetaldehyde. IAA ini dapat pula terbentuk dari Triptamine yang selanjutnya menjadi Indole-3-acetaldehyde, selanjutnya menjadi Indole-3-acetid acid (IAA). Perubahan dari Indole-3-acetonitrile menjadi IAA dengan bantuan enzyme nitrilase prosesnya masih belum diketahui (Abidin, 1985).
Menurut Gardner et al.(1985), respon auksin berhubungan dengan konsentrasinya. Konsentrasi yang tinggi bersifat menghambat yang dapat dijelaskan sebagai persaingan untuk mendapatkan peletakan pada tempat kedudukan penerima yaitu penambahan konsentrasi meningkatkan kemungkinan terdapatnya molekul yang sebagian melekat menempati kedudukan penerima yang menyebabkan kurang efektifnya gabungan tersebut. Auksin (IAA) berpengaruh terhadap jumlah dan panjang akar, jumlah daun dan jumlah plantlet. Pemberian IAA berakibat pada jumlah akar yaitu menghambat dalam mempengaruhi pembentukan akar pada eksplan, dan menyebabkan jumlah akar menjadi sedikit. Akar pada dasarnya terhambat pada hampir semua kisaran hormon. Respon pemberian IAA sangat bervariasi tergantung pada kepekaan organ tanaman. Batang merespon konsentrasi auksin dalam kisaran yang cukup lebar.
Auksin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh tanaman (plant growth regulator) yang aktivitasnya dapat merangsang atau mendorong pengembangan sel. Keberadaan IAA (Indole Acetic Acid) di alam dapat diidentifikasikan sebagai auksin yang aktif di dalam tumbuhan (endogenous) yang diproduksi dalam jaringan meristematik yang aktif. Contoh IAA dapat ditemukan ditunas, sedangkan IBA (Indole Butyric Acid) dan NAA (Naphtaleneacetic acid) merupakan auksin sintetis (Hoesen et al., 2000).
Menurut Dwidjoseputro (1992) salah satu fungsi auksin adalah sebagai herbisida. Fungsi auksin yang lain menurut Delvin (1968), berperan pada perpanjangan sel, apikal dominansi, inisiasi akar, partenokarpi, absisi dan respirasi. Lebih lanjut Heddy (1989), menjelaskan pengaruh fisiologi auksin pada tumbuhan yaitu :
a. pemanjangan sel
IAA dan auksin lain merangsang pemanjangan sel dan juga dapat berakibat pada pemanjangan koleoptil batang.
b. tunas ketiak
IAA yang dibentuk pada meristem apikal dan ditransport ke bawah dapat menghambat perkembangan tunas ketiak (lateral). Jika meristem apikal dipotong, tunas lateral akan berkembang.
c. absisi daun
Daun akan terpisah dari batang jika sel-sel pada daerah absisi mengalami perubahan kimia dan fisik.
d. aktivitas kambium
Auxin merangsang pembelahan sel dalam darah kambium.
e. tumbuh akar
Dalam akar, pengaruh IAA biasanya menghambat pemanjangan sel, kecuali pada konsentrasi yang sangat rendah.
Mekanisme auksin menurut Darmawan dan Baharsjah (1983), pada banyak tanaman pucuk lateral tidak mau tumbuh bila pucuk terminalnya utuh. Pucuk terminal apabila dipotong akan membuat pucuk lateral tumbuh. Pemotongan pucuk terminal akan menghasilkan auksin dalam jumlah besar sehingga konsentrasinya menghambat pertumbuhan pucuk lateral. Auksin yang dibentuk dalam ujung koleoptil bergerak ke bawah (basipetal). Pergerakan auksin hanya ke satu arah yaitu ke bawah atau menjauhi ujung pucuk. Lebih lanjut Hopkins (1995), sintesis auksin memerlukan Zn sebagai katalisator.
Menurut Wattimena (1987) dan Wareing dan Philips (1981) konsentrasi auksin yang diperlukan untuk pertumbuhan relatif tinggi daripada kebutuhan auksin untuk pertumbuhan akar. Pertumbuhan akar hanya akan dihambat oleh auksin pada tingkat konsentrasi yang memacu pertumbuhan batang faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan auksin endogen dapat memacu pertumbuhan hanya bila faktor-faktor lingkungan ini juga menghambat sintesis etilen. Menurut Tjitrosoemo (1994), faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap pemanjangan batang adalah suhu dan intensitas cahaya, sedangkan pada pemanjangan akar dipengaruhi oleh pasokan fotontesis (umumnya dalam bentuk sukrosa).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan mengenai praktikum kebutuhan auksin dalam tanaman adalah sebagai berikut :
1. Efektivitas IAA lebih tinggi bila dibandingkan dengan NAA dalam memacu pertumbuhan akar.
2. Konsentrasi optimum IAA untuk akar pada konsentrasi 60 ppm lebih optimum dibandingkan NAA dan akuades.
Daftar Referensi
Abidin, Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Penerbit Angkasa, Bandung.
Delvin, R. M. 1968. Plant Physiology. Peinhold Book Corporation, London.
Darmawan. J & Baharsjah J. S. 1983. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman. PT Suryandaru Utama, Jakarta.
Dwidjoseputro, D. 1992. Pengantar Fisiologi TUmbuhan. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV. Rajawali, Jakarta.
Gardner, F. P., R.B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1985. Physiology of Crop Plants. The Iowa State University Press, USA.
Hoesen, D. S. H. Sumarnie, H. Priyono. 2000. Peranan Zat Pengatur Tumbuh IBA, NAA dan IAA Pada Perbanyakan Amarilis Merah ( Amarillidaceae). LIPI Bogor.
Heddy, S. 1983. Hormon Tumbuhan. CV Rajawali, Jakarta.Hopkins, W. G. 1995. Introduction to Plant Physiology. John Wiley & Sons. Inc, USA.
Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1985. Plant Physiology Third Edition. Wadsworth Publishing Company, California.
Supeni, T. 1997. Biologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.
Tjitrosoemo, S. 1994. Botani Umum 1. Angkasa, Bandung.
Wareing, P.F. dan Philips, I. D.J. 1981. The Control of Growth and Differentiation in Plant. Pergamon Press, Oxford.
Wattimena, G. A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh. PAU Bioteknologi IPB, Bogor.
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
Acara praktikum : Mengatur kemasakan buah dengan menggunakan zat pengatur tumbuh.
Tujuan : Untuk mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh yang mampu mempercepat kemasakan buah.
A. Pembahasan
Praktikum pemasakan buah kali ini menggunakan buah pisang sebagai objek untuk melihat pengaruh etilen dalam pemasakan buah. Konsentrasi etilen yang digunakan yaitu 0 ppm, 500 ppm, 700 ppm dan 900 ppm. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat adanya perbedaan hasil waktu pemasakan buah antara larutan etilen dengan konsentrasi 0, 500, 700, dan 900 ppm. Hari pertama didapatkan hasil yang sama yaitu buah belum masak dengan ciri yang sama pula yaitu tekstur keras, warna hijau, dan tidak berbau, sedangkan buah masak pada hari yang berbeda yaitu 900 ppm pada hari ke-2, 700 ppm pada hari ke-2, dan 500 ppm pada hari ke-3, dan 0 ppm pada hari ke-4. Pisang yang masak menjadi lunak, berwarna kuning, dan berbau. Data hasil tersebut sesuai dengan referensi yang ada karena dengan pemberian etilen dengan konsentrasi yang berbeda menghasilkan efek yang berbeda pula (Abidin,1985). Jumlah etilen yang dibutuhkan untuk proses pematangan buah tidak selalu tetap akan tetapi berubah-ubah selama proses pematangan, jumlah etilen yang ada di dalam buah tetap sekitar 1,0 – 1,5 ppm sampai beberapa jam sebelum proses respirasinya meningkat. Segera setelah pernafasan meningkat dan mencapai puncak klimakterik, jumlah etilen meningkat menjadi 30 ppm (Miller, 1938).
Kemasakan atau pematangan (ripening) adalah suatu proses fisiologis, yaitu terjadinya perubahan dari kondisi yang tidak menguntungkan ke kondisi yang menguntungkan, ditandai dengan perubahan tekstur, warna, rasa dan aroma (Abidin, 1985). Proses pematangan buah pisang merupakan proses pengakumulasian gula dengan merombak pati menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tidak seperti buah pada umumnya yang mengakumulasi gula secara langsung dari pengiriman asimilat hasil fotosintesis di daun yang umumnya dikirim ke organ lain dalam bentuk sukrosa (Anderson dan Beardall, 1991).
Klimaterik adalah suatu periode mendadak yang unik bagi buah-buahan tertentu, dimana selama proses ini terjadi serangkaian perubahan biologis yang diawali dengan proses pembuatan etilen. Proses ini ditandai dengan mulainya proses pematangan. Buah-buahan yang tidak mengalami periode tersebut digolongkan kedalam buah non-klimakterik. Buah yang digolongkan ke dalam buah klimakterik menunukkan adanya peningkatan CO2 yang mendadak selama pematangan buah, sedangkan buah non klimaterik tidak menghasilkan CO2 yang terus menerus meningkat, tetapi terus turun perlahan-lahan (Wilkins, 1969).
Menurut Nogge and Fritz (1989), berdasarkan kandungan amilumnya, buah dibedakan menjadi buah klimaterik dan buah nonklimaterik. Buah klimaterik adalah buah yang banyak mengandung amilum, seperti pisang mangga, apel, alpokat dan dapat dipacu kematangannya dengan etilen. Etilen endogen yang dihasilkan oleh buah yang telah matang dengan sendirinya dapat memacu pematangan pada sekumpulan buah yang diperam. Buah non klimaterik adalah buah yang kandungan amilumnya sedikit, seperti jeruk, anggur, semangka dan nanas. Pemberian etilen pada buah ini dapat memacu laju respirasi, tetapi tidak memacu produksi etilen endogen dan pematangan buah.
Kecepatan pemasakan buah terjadi karena zat tumbuh mendorong pemecahan tepung dan penimbunan gula (Kusumo, 1990). Proses pemecahan tepung dan penimbunan gula tersebut merupakan proses pemasakan buah dimana ditandai dengan terjadinya perubahan warna, tekstur buah dan bau pada buah atau terjadinya pemasakan buah. Kebanyakan buah tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau. Kandungan klorofil buah yang sedang masak lambat laut berkurang. Saat terjadi klimaterik, klorofilase bertanggung jawab atas terjadinya penguraian klorofil. Penguraian hidrolitik klorofilase yang memecah klorofil menjadi bagian vital dan inti porfirin yang masih utuh, maka klorofilida yang bersangkutan tidak akan mengakibatkan perubahan warna. Bagian profirin pada molekul klorofil dapat mengalami oksidasi atau saturasi, sehingga warna akan hilang. Lunaknya buah disebabkan oleh adanya perombakan photopektin yang tidak larut. Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis (Fantastico, 1986).
Proses pematangan buah meliputi dua proses yaitu :
1. Etilen mempengaruhi permeabilitas membran sehingga daya permeabilitas menjadi lebih besar
2. Kandungan protein meningkat karena etilen telah merangsang sintesis protein. Protein yang terbentuk terlibat dalam proses pematangan buah karena akan meningkatkan enzim yang menyebabkan respirasi klimakterik (Wereing dan Philips, 1970).
Etilen adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas. Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian (Purba, 1996). Menurut Abidin (1985), etilen adalah hormon tumbuh yang secara umum berlainan dengan auksin, giberellin dan sitokinin. Etilen dalam keadaan normal akan berbentuk gas dan struktur kimianya sangat sederhana sekali. Etilen yang berada di alam akan berperan apabila terjadi perubahan secara fisiologis pada suatu tanaman. Hormon ini akan berperan dalam proses pematangan buah dalam fase klimaterik.
Abidin (1985), menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membahas mekanisme kerja etilen, yaitu :
1. Jangka waktu yang diperlukan bagi etilen untuk menyelesaikan proses pematangan
2. Etilen mempunyai sifat-sifat yang sangat unik di dalam proses pematangan buah dan dalam bagian tanaman lainnya
3. Dalam konsentrasi yang sangat rendah dapat memberikan rangsangan pada aktivitas fisiologi
4. Sensitivitas jaringan tanaman terhadap etilen yang konsentrasinya sangat rendah yang bervariasi sesuai dengan umurnya.
Mekanisme kerja etilen dalam pemasakan buah yaitu dengan cara menambahkan etilen dari luar. Di antara sekian banyak perubahan yang disebabkan oleh etilen adalah perubahan permeabilitas membran sel sehingga mengakibatkan penghancuran klorofil ke dalam kloroplas oleh enzim. Dengan terombaknya klorofil pigmen dalam sel-sel buah tidak terlindungi sehingga buah menampakkan warna masaknya (Sumarjono, 1981).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi etilen yang cepat untuk pemasakan buah adalah 900 ppm. Semakin tinggi konsentrasi etilen, semakin cepat proses pemasakan buah.
Daftar Referensi
Abidin, Z. 1985. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa, Bandung.
Anderson J. W & J. Beardall, 1991. Molecular Activities of Plant Cell An Introduction to Plant Biochemistry, Oxford, Blackwell Scientific Publication : 384.
Fantastico. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Kusumo, S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna, Jakarta.
Miller, E.C. 1938. Plant Physiology. McGraw Hill Book Company Inc., New York
Nogge, G. R. and G. J. Fritz. 1989. Plant Physiology. Prentice Hall Inc, New Delhi.
Purba, M. 1996. Ilmu Kimia. Erlangga, Jakarta.
Soemarjono, H. 1981. Masalah Jenis Tanaman Buah. CV. Sinar Biru, Bogor
Wereing, D.F and I. D.J. Phillips. 1970. The Control of Growth and Differentation in Plants. Pergamon Press, New York.
Wilkins, M. B. 1969. Physiology of Plant Growth and Development. McGraw Hill Publishing Company Limited, England.
Acara praktikum : Mengatur kemasakan buah dengan menggunakan zat pengatur tumbuh.
Tujuan : Untuk mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh yang mampu mempercepat kemasakan buah.
A. Pembahasan
Praktikum pemasakan buah kali ini menggunakan buah pisang sebagai objek untuk melihat pengaruh etilen dalam pemasakan buah. Konsentrasi etilen yang digunakan yaitu 0 ppm, 500 ppm, 700 ppm dan 900 ppm. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat adanya perbedaan hasil waktu pemasakan buah antara larutan etilen dengan konsentrasi 0, 500, 700, dan 900 ppm. Hari pertama didapatkan hasil yang sama yaitu buah belum masak dengan ciri yang sama pula yaitu tekstur keras, warna hijau, dan tidak berbau, sedangkan buah masak pada hari yang berbeda yaitu 900 ppm pada hari ke-2, 700 ppm pada hari ke-2, dan 500 ppm pada hari ke-3, dan 0 ppm pada hari ke-4. Pisang yang masak menjadi lunak, berwarna kuning, dan berbau. Data hasil tersebut sesuai dengan referensi yang ada karena dengan pemberian etilen dengan konsentrasi yang berbeda menghasilkan efek yang berbeda pula (Abidin,1985). Jumlah etilen yang dibutuhkan untuk proses pematangan buah tidak selalu tetap akan tetapi berubah-ubah selama proses pematangan, jumlah etilen yang ada di dalam buah tetap sekitar 1,0 – 1,5 ppm sampai beberapa jam sebelum proses respirasinya meningkat. Segera setelah pernafasan meningkat dan mencapai puncak klimakterik, jumlah etilen meningkat menjadi 30 ppm (Miller, 1938).
Kemasakan atau pematangan (ripening) adalah suatu proses fisiologis, yaitu terjadinya perubahan dari kondisi yang tidak menguntungkan ke kondisi yang menguntungkan, ditandai dengan perubahan tekstur, warna, rasa dan aroma (Abidin, 1985). Proses pematangan buah pisang merupakan proses pengakumulasian gula dengan merombak pati menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tidak seperti buah pada umumnya yang mengakumulasi gula secara langsung dari pengiriman asimilat hasil fotosintesis di daun yang umumnya dikirim ke organ lain dalam bentuk sukrosa (Anderson dan Beardall, 1991).
Klimaterik adalah suatu periode mendadak yang unik bagi buah-buahan tertentu, dimana selama proses ini terjadi serangkaian perubahan biologis yang diawali dengan proses pembuatan etilen. Proses ini ditandai dengan mulainya proses pematangan. Buah-buahan yang tidak mengalami periode tersebut digolongkan kedalam buah non-klimakterik. Buah yang digolongkan ke dalam buah klimakterik menunukkan adanya peningkatan CO2 yang mendadak selama pematangan buah, sedangkan buah non klimaterik tidak menghasilkan CO2 yang terus menerus meningkat, tetapi terus turun perlahan-lahan (Wilkins, 1969).
Menurut Nogge and Fritz (1989), berdasarkan kandungan amilumnya, buah dibedakan menjadi buah klimaterik dan buah nonklimaterik. Buah klimaterik adalah buah yang banyak mengandung amilum, seperti pisang mangga, apel, alpokat dan dapat dipacu kematangannya dengan etilen. Etilen endogen yang dihasilkan oleh buah yang telah matang dengan sendirinya dapat memacu pematangan pada sekumpulan buah yang diperam. Buah non klimaterik adalah buah yang kandungan amilumnya sedikit, seperti jeruk, anggur, semangka dan nanas. Pemberian etilen pada buah ini dapat memacu laju respirasi, tetapi tidak memacu produksi etilen endogen dan pematangan buah.
Kecepatan pemasakan buah terjadi karena zat tumbuh mendorong pemecahan tepung dan penimbunan gula (Kusumo, 1990). Proses pemecahan tepung dan penimbunan gula tersebut merupakan proses pemasakan buah dimana ditandai dengan terjadinya perubahan warna, tekstur buah dan bau pada buah atau terjadinya pemasakan buah. Kebanyakan buah tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau. Kandungan klorofil buah yang sedang masak lambat laut berkurang. Saat terjadi klimaterik, klorofilase bertanggung jawab atas terjadinya penguraian klorofil. Penguraian hidrolitik klorofilase yang memecah klorofil menjadi bagian vital dan inti porfirin yang masih utuh, maka klorofilida yang bersangkutan tidak akan mengakibatkan perubahan warna. Bagian profirin pada molekul klorofil dapat mengalami oksidasi atau saturasi, sehingga warna akan hilang. Lunaknya buah disebabkan oleh adanya perombakan photopektin yang tidak larut. Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis (Fantastico, 1986).
Proses pematangan buah meliputi dua proses yaitu :
1. Etilen mempengaruhi permeabilitas membran sehingga daya permeabilitas menjadi lebih besar
2. Kandungan protein meningkat karena etilen telah merangsang sintesis protein. Protein yang terbentuk terlibat dalam proses pematangan buah karena akan meningkatkan enzim yang menyebabkan respirasi klimakterik (Wereing dan Philips, 1970).
Etilen adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas. Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian (Purba, 1996). Menurut Abidin (1985), etilen adalah hormon tumbuh yang secara umum berlainan dengan auksin, giberellin dan sitokinin. Etilen dalam keadaan normal akan berbentuk gas dan struktur kimianya sangat sederhana sekali. Etilen yang berada di alam akan berperan apabila terjadi perubahan secara fisiologis pada suatu tanaman. Hormon ini akan berperan dalam proses pematangan buah dalam fase klimaterik.
Abidin (1985), menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membahas mekanisme kerja etilen, yaitu :
1. Jangka waktu yang diperlukan bagi etilen untuk menyelesaikan proses pematangan
2. Etilen mempunyai sifat-sifat yang sangat unik di dalam proses pematangan buah dan dalam bagian tanaman lainnya
3. Dalam konsentrasi yang sangat rendah dapat memberikan rangsangan pada aktivitas fisiologi
4. Sensitivitas jaringan tanaman terhadap etilen yang konsentrasinya sangat rendah yang bervariasi sesuai dengan umurnya.
Mekanisme kerja etilen dalam pemasakan buah yaitu dengan cara menambahkan etilen dari luar. Di antara sekian banyak perubahan yang disebabkan oleh etilen adalah perubahan permeabilitas membran sel sehingga mengakibatkan penghancuran klorofil ke dalam kloroplas oleh enzim. Dengan terombaknya klorofil pigmen dalam sel-sel buah tidak terlindungi sehingga buah menampakkan warna masaknya (Sumarjono, 1981).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi etilen yang cepat untuk pemasakan buah adalah 900 ppm. Semakin tinggi konsentrasi etilen, semakin cepat proses pemasakan buah.
Daftar Referensi
Abidin, Z. 1985. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa, Bandung.
Anderson J. W & J. Beardall, 1991. Molecular Activities of Plant Cell An Introduction to Plant Biochemistry, Oxford, Blackwell Scientific Publication : 384.
Fantastico. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Kusumo, S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna, Jakarta.
Miller, E.C. 1938. Plant Physiology. McGraw Hill Book Company Inc., New York
Nogge, G. R. and G. J. Fritz. 1989. Plant Physiology. Prentice Hall Inc, New Delhi.
Purba, M. 1996. Ilmu Kimia. Erlangga, Jakarta.
Soemarjono, H. 1981. Masalah Jenis Tanaman Buah. CV. Sinar Biru, Bogor
Wereing, D.F and I. D.J. Phillips. 1970. The Control of Growth and Differentation in Plants. Pergamon Press, New York.
Wilkins, M. B. 1969. Physiology of Plant Growth and Development. McGraw Hill Publishing Company Limited, England.
Pengaruh Zat Penghambat Tumbuh (Paklobutrazol) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays).
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
Acara praktikum : Pengaruh Zat Penghambat Tumbuh (Paklobutrazol) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays).
Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh zat penghambat tumbuh terhadap pertumbuhan tanaman Jagung.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum, penyemprotan ZPT dilakukan sebanyak 10 kali pada awal perlakuan. Penanaman jagung dilakukan pada media tanam berupa 1 polibag yang berisi 2 tanaman jagung. Pengamatan meliputi yang dilakukan meliputi panjang tanaman dan diameter batang jagung. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tinggi batang dan diameter batang tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Tinggi tanaman dan diameter batang dari semua perlakuan relatif sama (Tabel 1). Hasil penelitian ini diperoleh bahwa, tanaman jagung yang diperlakukan dengan pemberian paklobutrazol dengan berbagai konsentrasi ternyata tinggi tanaman dan diameter batang berbeda. Tinggi tanaman berkisar antara 1,3 cm – 1,6 cm, sedangkan diameter batangnya berkisar antara 1,1 cm – 1,3 cm. berdasarkan Gardner et al., (1985), pemberian ZPT berpengaruh terhadap pengoptimalan pertumbuhan tanaman.
Prinsip untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman baik dari segi hasil maupun keragaan pertumbuhannya maka secara teknik agronomi dapat di manipulasi. Manipulasi tersebut antara lain dengan pemberian ZPT. Pemberian ZPT membantu pertumbuhan tanaman lebih optimal. Gardner et al., (1985), menyatakan bahwa yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman antara lain adalah zat pengatur pertumbuhan, cahaya dan ketersediaan hara yang optimal. Pemberian penghambat tumbuh mempengaruhi fisiologi dari tanaman yaitu menghambat elongasi sel pada sub apikal meristem, memperpendek ruas tanaman, mempertebal batang, mencegah kerebahan, menghambat etiolasi, mempertinggi perakaran stek, menghambat senescence, memperpanjang masa simpan, meningkatkan perkecambahan dan pertunasan, meningkatkan pembuahan. Hasil penelitian memberikan tinggi tanaman dan diameter batang yang tidak berbeda tersebut kemungkinan disebabkan frekuensi pemberian ZPT yang kurang optimal karena hanya diaplikasikan satu kali sehingga masih belum menampakan hasil yang nyata.
Paklobutrazol merupakan suatu zat perlambat biosintesa giberelin sehingga kandungan GA-nya menjadi rendah dan mendorong terbentuknya umbi (Samanhudi et al., 2007). Paklobutrazol berperan sebagai zat perlambat tumbuh yang mengakibatkan bagian–bagian tanaman akan mengecil dan dapat merangsang tumbuhnya bunga. Pemberian Paklobutrazol dengan dosis yang sesuai terbukti dapat meningkatkan produksi bunga dan buah dari tanaman (Herlina et al., 2001). Selain itu pemberian paklobutrazol menyebabkan laju pembelahan dan pemanjangan sel menjadi lambat dan menyebabkan keracunan pada sel (Samanhudi et al., 2007). Berdasarkan hasil penelitian pemberian paklobutrazol ternyata tidak memberikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung. Keadaan tersebut kemungkinan dosis yang diberikan masih belum optimal sehingga masih belum menunjukkan efeknya.
Pengaruh konsentrasi pada proses pembentukan umbi tanaman kentang memberikan pengaruh yang nyata. Penambahan jumlah paklobutrazol menyebabkan jumlah baku pada tinggi planet terhambat. Penambahan konsentrasi paklobutrazol 0,2 ppm mengakibatkan penurunan jumlah baku 3-5 kali dari awalnya (Samanhudi et al., 2007).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka didapat kesimpulan bahwa paklobutrazol dengan konsentrasi 25 ppm memberikan pertumbuhan yang terhambat. Semakin tinggi konsentrasi maka semakin menghambat pertumbuhan, sedangkan konsentrasi paklobutrazol yang rendah akan berdampak pada pertumbuhan yang meningkat.
Daftar Referensi
Samanhudi. Yunus A. Sakya A.T. Hartati R. 2007. Pengaruh Paklobutrazol dalam Pembentukan Umbi Kentang secara in vitro. Fakultas Pertanian UNS.
Gardner P.G., R.B. Pearee and T.L. Mitchell. 1985. Physiology of crop plants. The Iowa State University Press. U.S.A 428 p.
Herlina D, K.D. Hatmini dan M.F. Masyhudi. 2001. Peran paklobutrazol dan pupuk KNO3 terhadap induksi pembungaan melati. J. Sainteks Edisi Khusus Oktober 21. p : 189- 200.
Acara praktikum : Pengaruh Zat Penghambat Tumbuh (Paklobutrazol) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays).
Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh zat penghambat tumbuh terhadap pertumbuhan tanaman Jagung.
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum, penyemprotan ZPT dilakukan sebanyak 10 kali pada awal perlakuan. Penanaman jagung dilakukan pada media tanam berupa 1 polibag yang berisi 2 tanaman jagung. Pengamatan meliputi yang dilakukan meliputi panjang tanaman dan diameter batang jagung. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tinggi batang dan diameter batang tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Tinggi tanaman dan diameter batang dari semua perlakuan relatif sama (Tabel 1). Hasil penelitian ini diperoleh bahwa, tanaman jagung yang diperlakukan dengan pemberian paklobutrazol dengan berbagai konsentrasi ternyata tinggi tanaman dan diameter batang berbeda. Tinggi tanaman berkisar antara 1,3 cm – 1,6 cm, sedangkan diameter batangnya berkisar antara 1,1 cm – 1,3 cm. berdasarkan Gardner et al., (1985), pemberian ZPT berpengaruh terhadap pengoptimalan pertumbuhan tanaman.
Prinsip untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman baik dari segi hasil maupun keragaan pertumbuhannya maka secara teknik agronomi dapat di manipulasi. Manipulasi tersebut antara lain dengan pemberian ZPT. Pemberian ZPT membantu pertumbuhan tanaman lebih optimal. Gardner et al., (1985), menyatakan bahwa yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman antara lain adalah zat pengatur pertumbuhan, cahaya dan ketersediaan hara yang optimal. Pemberian penghambat tumbuh mempengaruhi fisiologi dari tanaman yaitu menghambat elongasi sel pada sub apikal meristem, memperpendek ruas tanaman, mempertebal batang, mencegah kerebahan, menghambat etiolasi, mempertinggi perakaran stek, menghambat senescence, memperpanjang masa simpan, meningkatkan perkecambahan dan pertunasan, meningkatkan pembuahan. Hasil penelitian memberikan tinggi tanaman dan diameter batang yang tidak berbeda tersebut kemungkinan disebabkan frekuensi pemberian ZPT yang kurang optimal karena hanya diaplikasikan satu kali sehingga masih belum menampakan hasil yang nyata.
Paklobutrazol merupakan suatu zat perlambat biosintesa giberelin sehingga kandungan GA-nya menjadi rendah dan mendorong terbentuknya umbi (Samanhudi et al., 2007). Paklobutrazol berperan sebagai zat perlambat tumbuh yang mengakibatkan bagian–bagian tanaman akan mengecil dan dapat merangsang tumbuhnya bunga. Pemberian Paklobutrazol dengan dosis yang sesuai terbukti dapat meningkatkan produksi bunga dan buah dari tanaman (Herlina et al., 2001). Selain itu pemberian paklobutrazol menyebabkan laju pembelahan dan pemanjangan sel menjadi lambat dan menyebabkan keracunan pada sel (Samanhudi et al., 2007). Berdasarkan hasil penelitian pemberian paklobutrazol ternyata tidak memberikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung. Keadaan tersebut kemungkinan dosis yang diberikan masih belum optimal sehingga masih belum menunjukkan efeknya.
Pengaruh konsentrasi pada proses pembentukan umbi tanaman kentang memberikan pengaruh yang nyata. Penambahan jumlah paklobutrazol menyebabkan jumlah baku pada tinggi planet terhambat. Penambahan konsentrasi paklobutrazol 0,2 ppm mengakibatkan penurunan jumlah baku 3-5 kali dari awalnya (Samanhudi et al., 2007).
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka didapat kesimpulan bahwa paklobutrazol dengan konsentrasi 25 ppm memberikan pertumbuhan yang terhambat. Semakin tinggi konsentrasi maka semakin menghambat pertumbuhan, sedangkan konsentrasi paklobutrazol yang rendah akan berdampak pada pertumbuhan yang meningkat.
Daftar Referensi
Samanhudi. Yunus A. Sakya A.T. Hartati R. 2007. Pengaruh Paklobutrazol dalam Pembentukan Umbi Kentang secara in vitro. Fakultas Pertanian UNS.
Gardner P.G., R.B. Pearee and T.L. Mitchell. 1985. Physiology of crop plants. The Iowa State University Press. U.S.A 428 p.
Herlina D, K.D. Hatmini dan M.F. Masyhudi. 2001. Peran paklobutrazol dan pupuk KNO3 terhadap induksi pembungaan melati. J. Sainteks Edisi Khusus Oktober 21. p : 189- 200.
ZPT sebagai herbisida
PERANAN ZAT PENGATUR TUMBUH SEBAGAI HERBISIDA
B. Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh jumlah daun gulma yang rontok lebih cepat adalah gulma dengan konsentrasi 1600 ppm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moenandir (1990), bahwa herbisida dengan bahan aktif 2,4-D akan menghambat pertumbuhan gulma dengan mempercepat respirasi. Hal ini menyebabkan adanya ke dua bahan aktif dapat mempercepat kematian gulma. Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan. Penambahan konsentrasi herbisida mampu mempercepat proses kematian gulma. Herbisida 2,4-D bersifat sistemik dalam menghambat gulma, tetapi kerja herbisida ikut menghambat pertumbuhan padi (Sofnie et al., 2000).
Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan pengganggu yang menyebabkan penurunan jumlah gulma. Herbisida digunakan sebagai salah satu sarana pengendalian gulma. Herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme senyawa penting seperti pati, asam amino melalui kompetisi dengan senyawa yang normal dalam proses tersebut. Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi kosubstrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya (Anonymous, 2010).
Menurut aplikasinya herbisida terbagi menjadi dua tipe yaitu herbisida pratumbuh (preemergence herbicide) dan herbisida pascatumbuh (postemergence herbicide). Herbisida pratumbuh disebarkan pada lahan setelah diolah namun sebelum benih disebarkan atau segera setelah benih ditebar. Biasanya herbisida jenis ini bersifat nonselektif, yang berarti membunuh semua tumbuhan yang ada. Herbisida pascatumbuh diberikan setelah benih memunculkan daun petamanya. Herbisida jenis ini bersifat selektif memberantas tanaman pengganggu dan bersifat tidak mengganggu tumbuhan pokoknya (Anonymous, 2010).
Macam herbisida yang biasa digunakan untuk menghambat tanaman adalah herbisida diuron dan paraquat. Herbisida Diuron 3-(3,4-Dichlorophenil)-1 dimethylurea merupakan salah satu golongan urea yang banyak digunakan untuk mengendalikan berbagai macam gulma. Herbisida ini mampu mengendalikan gulma rumput berdaun lebar dan teki baik semusim maupun tahunan. Umumnya diaplikasikan secara pra tanam dan pra tumbuh (Ashton dan Craft, 1981). Herbisida paraquat (1,1 dimethyl-4,4-bipiridinium) merupakan salah satu herbisida kontak nonselektif yang dapat diberikan secara pra tanam dan pra tumbuh. Herbisida ini dapat terikat kuat pada komponen tanah setelah aplikasi dan dapat membunuh biji gulma yang sedang berkecambah apabila kontak dengan herbisida ini (Ashton dan Craft, 1981).
Herbisida 2,4-D atau 2,4- dikloro fenoksi asam asetat merupakan salah satu herbisida untuk pembasmi gulma yang efektif untuk jenis gulma yang berdaun lebar. Gulma yang mampu dibasmi misalnya Limnocharis flava, Monochoria vaginalis, salvinia natans, Cyperus difformis. Fimristys miliaceae, Scirpus juncoides di lahan sawah. Herbisida 2,4-D bersifat sistemik, berbentuk kristal putih, tidak berbau dan mempunyai titik lebur 140,5 °C (Sofnie et al., 2000).
Pemakaian campuran herbisida dapat meningkatkan spektrum pengendalian dosis herbisida. Campuran herbisisda dengan bahan aktif glifosat akan mematikan gulma dengan jalan menghambat jalur biosintesa asam amino. Herbisida dengan bahan aktif 2,4-D akan menghambat pertumbuhan gulma dengan mempercepat respirasi, hal ini menyebabkan adanya ke dua bahan aktif dapat mempercepat kematian gulma. Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan (Moenandir, 1990).
Rumus bangun herbisida 2,4-D :
Herbisida klomazon merupakan herbisida sistemik diberikan pre emergence pada permukaan tanah. Herbisida ini akan diserap oleh akar tanaman dan ditranslokasikan ke atas dan tinggal di daun. Herbisida ini memberikan efek penghambat pembentukan karotenoid, sehingga menyebabkan pemutihan kloroplas. Herbisida klomazon dapat digunakan untuk mengendalikan gulma golongan teki dan gulma daun lebar, sedangkan metribuzin dapat digunakan untuk mengendalikan gulma golongan rumput dan daun lebar. Cara kerja herbisida mertibuzin adalah mengganggu aktivitas fotosintesis (Sastroutomo, 1990).
Gulma adalah tumbuhan penggangu yang bernilai negatif apabila tumbuhan tersebut merugikan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dan sebaliknya tumbuhan dikatakan memiliki nilai positif apabila mempunyai daya guna manusia. Salain itu gulma dapat diartikan sebagai tumbuhan yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya dan tidak dikehendaki serta mempunyai nilai negatif. Gulma selalu terdapat pada setiap pertanaman dan tumbuh bebas apabila dilakukan pengendalian. Secara fisik gulma bersaing dengan tumbuhan dalam hal pemanfaatan ruang, cahaya, dan secara kimiawi dalam hal pemanfaatan air, nutrisi, gas-gas penting dalam allelopati. Persaingan dapat berlangsung bila komponen yang dibutuhkan oleh gulama atau tanaman budidaya berada pada jumlah yang terbatas, jaraknya berdekatan dan bersama-sama dibutuhkan (Sukman, 2001).
Berdasarkan Noor (1997), cara kerja herbisida di kelompokkan menjadi dua yaitu :
a. herbisida kontak
• mampu membasmi gulma yang terkena semprotan saja terutama bagian yang berhijau daun dan aktif berfotosintesis.
• Keistimewaan dari herbisida kontak adalah membasmi gulma secara cepat, 2 -3 jam setelah disemprot gulma sudah layu dan 2-3 hari kemudian mati. Hal ini menyebabkan bermanfaat jika waktu penanaman harus segera dilakukan. Kelemahannya gulma akan tumbuh kembali secara cepat sekitar 2 minggu kemudian. Contoh herbisida kontak adalah paraquat.
b. herbisida sistemik.
• Cara kerja herbisida ini di alirkan ke dalam jaringan tanaman gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai ke perakarannya. Keistimewaannya, dapat mematikan tunas - tunas yang ada dalam tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut. Contoh herbisida sistemik adalah glifosat, sulfosat.
• Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas herbisida sistemik, yaitu:
- Gulma harus dalam masa pertumbuhan aktif
- Cuaca cerah waktu menyemprot
- Tidak menyemprot menjelang hujan
- Keringkan areal yang akan disemprot
- Gunakan air bersih sebagai bahan pelarut
- Boleh dicampur dengan herbisida 2,4D amina atau dengan herbisida Metsulfuron.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan :
1. Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan pengganggu yang menyebabkan penurunan jumlah gulma.
2. Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya dan tidak dikehendaki serta mempunyai nilai negatif.
3. Macam herbisida yang biasa digunakan untuk menghambat tanaman adalah herbisida diuron dan paraquat.
Daftar Referensi
Ashton dan Craft. 1981. Mode of Action of Herbicides. John Willey and Son, New York.
Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV. Raajawali, Jakarta.
Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu Pengendalian Gulma. Rajawali Press. Jakarta.
Noor, E.S. 1997. Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta.
Sofnie M. Mulyadi. Idawati. 2000. Translokasi herbisida 2,4-D-14C pada Tanaman Gulma dan Padi pada Sistem Persawahan.
Sukman yakub, yernelis. 2001. Gulma dan teknik pengendaliannya. Fakultas pertanian universitas sriwijaya, palembang.
B. Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh jumlah daun gulma yang rontok lebih cepat adalah gulma dengan konsentrasi 1600 ppm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moenandir (1990), bahwa herbisida dengan bahan aktif 2,4-D akan menghambat pertumbuhan gulma dengan mempercepat respirasi. Hal ini menyebabkan adanya ke dua bahan aktif dapat mempercepat kematian gulma. Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan. Penambahan konsentrasi herbisida mampu mempercepat proses kematian gulma. Herbisida 2,4-D bersifat sistemik dalam menghambat gulma, tetapi kerja herbisida ikut menghambat pertumbuhan padi (Sofnie et al., 2000).
Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan pengganggu yang menyebabkan penurunan jumlah gulma. Herbisida digunakan sebagai salah satu sarana pengendalian gulma. Herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme senyawa penting seperti pati, asam amino melalui kompetisi dengan senyawa yang normal dalam proses tersebut. Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi kosubstrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya (Anonymous, 2010).
Menurut aplikasinya herbisida terbagi menjadi dua tipe yaitu herbisida pratumbuh (preemergence herbicide) dan herbisida pascatumbuh (postemergence herbicide). Herbisida pratumbuh disebarkan pada lahan setelah diolah namun sebelum benih disebarkan atau segera setelah benih ditebar. Biasanya herbisida jenis ini bersifat nonselektif, yang berarti membunuh semua tumbuhan yang ada. Herbisida pascatumbuh diberikan setelah benih memunculkan daun petamanya. Herbisida jenis ini bersifat selektif memberantas tanaman pengganggu dan bersifat tidak mengganggu tumbuhan pokoknya (Anonymous, 2010).
Macam herbisida yang biasa digunakan untuk menghambat tanaman adalah herbisida diuron dan paraquat. Herbisida Diuron 3-(3,4-Dichlorophenil)-1 dimethylurea merupakan salah satu golongan urea yang banyak digunakan untuk mengendalikan berbagai macam gulma. Herbisida ini mampu mengendalikan gulma rumput berdaun lebar dan teki baik semusim maupun tahunan. Umumnya diaplikasikan secara pra tanam dan pra tumbuh (Ashton dan Craft, 1981). Herbisida paraquat (1,1 dimethyl-4,4-bipiridinium) merupakan salah satu herbisida kontak nonselektif yang dapat diberikan secara pra tanam dan pra tumbuh. Herbisida ini dapat terikat kuat pada komponen tanah setelah aplikasi dan dapat membunuh biji gulma yang sedang berkecambah apabila kontak dengan herbisida ini (Ashton dan Craft, 1981).
Herbisida 2,4-D atau 2,4- dikloro fenoksi asam asetat merupakan salah satu herbisida untuk pembasmi gulma yang efektif untuk jenis gulma yang berdaun lebar. Gulma yang mampu dibasmi misalnya Limnocharis flava, Monochoria vaginalis, salvinia natans, Cyperus difformis. Fimristys miliaceae, Scirpus juncoides di lahan sawah. Herbisida 2,4-D bersifat sistemik, berbentuk kristal putih, tidak berbau dan mempunyai titik lebur 140,5 °C (Sofnie et al., 2000).
Pemakaian campuran herbisida dapat meningkatkan spektrum pengendalian dosis herbisida. Campuran herbisisda dengan bahan aktif glifosat akan mematikan gulma dengan jalan menghambat jalur biosintesa asam amino. Herbisida dengan bahan aktif 2,4-D akan menghambat pertumbuhan gulma dengan mempercepat respirasi, hal ini menyebabkan adanya ke dua bahan aktif dapat mempercepat kematian gulma. Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan (Moenandir, 1990).
Rumus bangun herbisida 2,4-D :
Herbisida klomazon merupakan herbisida sistemik diberikan pre emergence pada permukaan tanah. Herbisida ini akan diserap oleh akar tanaman dan ditranslokasikan ke atas dan tinggal di daun. Herbisida ini memberikan efek penghambat pembentukan karotenoid, sehingga menyebabkan pemutihan kloroplas. Herbisida klomazon dapat digunakan untuk mengendalikan gulma golongan teki dan gulma daun lebar, sedangkan metribuzin dapat digunakan untuk mengendalikan gulma golongan rumput dan daun lebar. Cara kerja herbisida mertibuzin adalah mengganggu aktivitas fotosintesis (Sastroutomo, 1990).
Gulma adalah tumbuhan penggangu yang bernilai negatif apabila tumbuhan tersebut merugikan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dan sebaliknya tumbuhan dikatakan memiliki nilai positif apabila mempunyai daya guna manusia. Salain itu gulma dapat diartikan sebagai tumbuhan yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya dan tidak dikehendaki serta mempunyai nilai negatif. Gulma selalu terdapat pada setiap pertanaman dan tumbuh bebas apabila dilakukan pengendalian. Secara fisik gulma bersaing dengan tumbuhan dalam hal pemanfaatan ruang, cahaya, dan secara kimiawi dalam hal pemanfaatan air, nutrisi, gas-gas penting dalam allelopati. Persaingan dapat berlangsung bila komponen yang dibutuhkan oleh gulama atau tanaman budidaya berada pada jumlah yang terbatas, jaraknya berdekatan dan bersama-sama dibutuhkan (Sukman, 2001).
Berdasarkan Noor (1997), cara kerja herbisida di kelompokkan menjadi dua yaitu :
a. herbisida kontak
• mampu membasmi gulma yang terkena semprotan saja terutama bagian yang berhijau daun dan aktif berfotosintesis.
• Keistimewaan dari herbisida kontak adalah membasmi gulma secara cepat, 2 -3 jam setelah disemprot gulma sudah layu dan 2-3 hari kemudian mati. Hal ini menyebabkan bermanfaat jika waktu penanaman harus segera dilakukan. Kelemahannya gulma akan tumbuh kembali secara cepat sekitar 2 minggu kemudian. Contoh herbisida kontak adalah paraquat.
b. herbisida sistemik.
• Cara kerja herbisida ini di alirkan ke dalam jaringan tanaman gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai ke perakarannya. Keistimewaannya, dapat mematikan tunas - tunas yang ada dalam tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut. Contoh herbisida sistemik adalah glifosat, sulfosat.
• Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas herbisida sistemik, yaitu:
- Gulma harus dalam masa pertumbuhan aktif
- Cuaca cerah waktu menyemprot
- Tidak menyemprot menjelang hujan
- Keringkan areal yang akan disemprot
- Gunakan air bersih sebagai bahan pelarut
- Boleh dicampur dengan herbisida 2,4D amina atau dengan herbisida Metsulfuron.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan :
1. Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan pengganggu yang menyebabkan penurunan jumlah gulma.
2. Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya dan tidak dikehendaki serta mempunyai nilai negatif.
3. Macam herbisida yang biasa digunakan untuk menghambat tanaman adalah herbisida diuron dan paraquat.
Daftar Referensi
Ashton dan Craft. 1981. Mode of Action of Herbicides. John Willey and Son, New York.
Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV. Raajawali, Jakarta.
Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu Pengendalian Gulma. Rajawali Press. Jakarta.
Noor, E.S. 1997. Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta.
Sofnie M. Mulyadi. Idawati. 2000. Translokasi herbisida 2,4-D-14C pada Tanaman Gulma dan Padi pada Sistem Persawahan.
Sukman yakub, yernelis. 2001. Gulma dan teknik pengendaliannya. Fakultas pertanian universitas sriwijaya, palembang.
Pengaruh Giberelin
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
Acara praktikum : Pengaruh Giberelin terhadap perpanjangan batang.
Tujuan : Untuk mengetahui Giberelin yang efektif dalam merangsang pertumbuhan tanaman, khususnya terhadap perpanjangan batang.
B. Pembahasan
Berdasarkan data hasil praktikum pertumbuhan batang jagung paling cepat dengan konsentrasi 0 ppm, sedangkan pada tanaman kedelai dengan konsentrasi15 ppm. Data yang diperoleh pada tanaman jagung dan tanaman kedelai tidak sesuai dengan pustaka yang diungkapkan Fernie and Willmitzer (2001), bahwa giberelin berfungsi dalam proses pemanjangan batang. Pemberian giberelin dengan konsentrasi yang semakin tinggi akan mempercepat proses pemanjangan batang.
Giberelin merupakan hormon pertumbuhan yang terdapat pada organ-organ tanaman yaitu pada akar, batang, tunas, daun, bintil akar, buah, dan jaringan halus. Giberelin dapat merangsang pertumbuhan batang dan juga dapat meningkatkan besarnya daun pada beberapa jenis tumbuhan. Giberelin dapat pula menggantikan perlakuan suhu rendah (20-40C) pada tanaman yang membutuhkan perlakuan tersebut bagi pembungaan (Heddy, 1986). Giberelin mempercepat munculnya tunas di permukaan tanah. Hal ini disebabkan karena GA3 memacu aktivitas enzim–enzim hidrolitik khususnya α amilase yang menghidrolisis cadangan pati sehingga tersedia nutrisi yang cukup untuk tunas supaya bisa tumbuh lebih cepat (Jacobsen et al., 1995).
Efek yang ditimbulkan oleh giberelin umumnya bertitik berat pada pola pertumbuhan normal. Giberelin alami ada lebih dari 30 macam, semuanya memiliki konfigurasi kimia yang khusus tetapi yang paling sering digunakan adalah Asam giberelat (GA3) dan efek fisiologi giberelin kebanyakan dianggap hanya dari senyawa ini. Giberelin bekerja pada gen dengan menyebabkan aktivasi gen-gen tertentu. Gen-gen yang diaktifkan akan membentuk enzim-enzim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan morphogenetik (penampilan/kenampakan tanaman) (Rukmana, 1997).
Beberapa fungsi giberelin pada tumbuhan menurut Fernie dan Willmitzer, (2001) sebagai berikut:
1. mematahkan dormansi atau hambatan pertumbuhan tanaman sehingga
tanaman dapat tumbuh normal (tidak kerdil) dengan cara mempercepat proses
pembelahan sel.
2. meningkatkan pembungaan.
3. memacu proses perkecambahan biji. Salah satu efek giberelin adalah mendorong terjadinya sintesis enzim dalam biji seperti amilase, protease dan lipase dimana enzim tersebut akan merombak dinding sel endosperm biji dan menghidrolisis pati dan protein yang akan memberikan energi bagi perkembangan embrio diantaranya adalah radikula yang akan mendobrak endosperm, kulit biji atau kulit buah yang membatas pertumbuhan/perkecambahan biji sehingga biji berkecambah.
4. pemanjangan sel.
Kesimpulan
1. Giberelin merangsang pertumbuhan batang dan juga dapat meningkatkan besarnya daun pada beberapa jenis tumbuhan.
2. GA3 memacu aktivitas enzim–enzim hidrolitik khususnya α amilase yang menghidrolisis cadangan pati sehingga tersedia nutrisi yang cukup untuk tunas supaya bisa tumbuh lebih cepat.
Daftar Referensi
Fernie, A.R. and L. Willmitzer. 2001. Molecular and biochemical triggers of potato tuber development. Plant Physiology 127: 1459-1465.
Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. Rajawali Press, Jakarta.
Jacobsen, J.V., F. Gubler and P.M. Chandler. 1995. Gibberellin action in germinated cereal grains. In 'Plant hormones physiology, biochemistry and molecular biology'. (Ed PJ Davies) pp. 246-271. (Kluwer Academic Publisher: Dordrecht).
Rukmana, R. 1997. Kentang Budidaya dan Pascapanen. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
Acara praktikum : Pengaruh Giberelin terhadap perpanjangan batang.
Tujuan : Untuk mengetahui Giberelin yang efektif dalam merangsang pertumbuhan tanaman, khususnya terhadap perpanjangan batang.
B. Pembahasan
Berdasarkan data hasil praktikum pertumbuhan batang jagung paling cepat dengan konsentrasi 0 ppm, sedangkan pada tanaman kedelai dengan konsentrasi15 ppm. Data yang diperoleh pada tanaman jagung dan tanaman kedelai tidak sesuai dengan pustaka yang diungkapkan Fernie and Willmitzer (2001), bahwa giberelin berfungsi dalam proses pemanjangan batang. Pemberian giberelin dengan konsentrasi yang semakin tinggi akan mempercepat proses pemanjangan batang.
Giberelin merupakan hormon pertumbuhan yang terdapat pada organ-organ tanaman yaitu pada akar, batang, tunas, daun, bintil akar, buah, dan jaringan halus. Giberelin dapat merangsang pertumbuhan batang dan juga dapat meningkatkan besarnya daun pada beberapa jenis tumbuhan. Giberelin dapat pula menggantikan perlakuan suhu rendah (20-40C) pada tanaman yang membutuhkan perlakuan tersebut bagi pembungaan (Heddy, 1986). Giberelin mempercepat munculnya tunas di permukaan tanah. Hal ini disebabkan karena GA3 memacu aktivitas enzim–enzim hidrolitik khususnya α amilase yang menghidrolisis cadangan pati sehingga tersedia nutrisi yang cukup untuk tunas supaya bisa tumbuh lebih cepat (Jacobsen et al., 1995).
Efek yang ditimbulkan oleh giberelin umumnya bertitik berat pada pola pertumbuhan normal. Giberelin alami ada lebih dari 30 macam, semuanya memiliki konfigurasi kimia yang khusus tetapi yang paling sering digunakan adalah Asam giberelat (GA3) dan efek fisiologi giberelin kebanyakan dianggap hanya dari senyawa ini. Giberelin bekerja pada gen dengan menyebabkan aktivasi gen-gen tertentu. Gen-gen yang diaktifkan akan membentuk enzim-enzim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan morphogenetik (penampilan/kenampakan tanaman) (Rukmana, 1997).
Beberapa fungsi giberelin pada tumbuhan menurut Fernie dan Willmitzer, (2001) sebagai berikut:
1. mematahkan dormansi atau hambatan pertumbuhan tanaman sehingga
tanaman dapat tumbuh normal (tidak kerdil) dengan cara mempercepat proses
pembelahan sel.
2. meningkatkan pembungaan.
3. memacu proses perkecambahan biji. Salah satu efek giberelin adalah mendorong terjadinya sintesis enzim dalam biji seperti amilase, protease dan lipase dimana enzim tersebut akan merombak dinding sel endosperm biji dan menghidrolisis pati dan protein yang akan memberikan energi bagi perkembangan embrio diantaranya adalah radikula yang akan mendobrak endosperm, kulit biji atau kulit buah yang membatas pertumbuhan/perkecambahan biji sehingga biji berkecambah.
4. pemanjangan sel.
Kesimpulan
1. Giberelin merangsang pertumbuhan batang dan juga dapat meningkatkan besarnya daun pada beberapa jenis tumbuhan.
2. GA3 memacu aktivitas enzim–enzim hidrolitik khususnya α amilase yang menghidrolisis cadangan pati sehingga tersedia nutrisi yang cukup untuk tunas supaya bisa tumbuh lebih cepat.
Daftar Referensi
Fernie, A.R. and L. Willmitzer. 2001. Molecular and biochemical triggers of potato tuber development. Plant Physiology 127: 1459-1465.
Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. Rajawali Press, Jakarta.
Jacobsen, J.V., F. Gubler and P.M. Chandler. 1995. Gibberellin action in germinated cereal grains. In 'Plant hormones physiology, biochemistry and molecular biology'. (Ed PJ Davies) pp. 246-271. (Kluwer Academic Publisher: Dordrecht).
Rukmana, R. 1997. Kentang Budidaya dan Pascapanen. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
Acara praktikum :Dominansi apikal
Tujuan :Untuk mengetahui pengaruh zat pengatur tumbuh IAA terhadap pertumbuhan tunas lateral.
A. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa terjadi perbedaan waktu tumbuh antara tanaman yang diberi ZPT IAA dengan ZPT IBA. Tanaman yang diberi perlakuan IAA dengan konsentrasi 0 ppm, 1 ppm dan 2 ppm tidak tumbuh, sedangkan IAA dengan konsentrasi 1,5 ppm mulai tumbuh pada hari ke-6. Tanaman yang diberi perlakuan IBA dengan konsentrasi 0 ppm mulai tumbuh pada hari ke-6, IBA dengan konsentrasi 1 ppm mulai tumbuh pada hari ke-9, IBA dengan konsentrasi 1,5 ppm mulai tumbuh pada hari ke-4, sedangkan IBA dengan konsentrasi 2 ppm tidak tumbuh. Dominasi apikal merupakan fenomena pertumbuhan ujung batang yang mendominasi pertumbuhan bagian lain sehingga pembentukan cabang lateral akan terhambat (Darmanti, 2008).
Sebagian besar tanaman apabila pertumbuhan batang telah mencukupi maka secara alami cabang lateral akan tumbuh pada nodus bagian bawah yang cukup jauh dari ujung batang. Proses ini dapat disebabkan karena semakin jauh dari ujung batang pengaruh dominansi apikal semakin berkurang. Dominansi apikal dan pembentukan cabang lateral ini dipengaruhi oleh keseimbangan konsentrasi hormon (Khrishnamoorthy, 1981; Taiz and Zeiger, 1998 dan Hopkins, 1995). Perlakuan girdling, sintesis auksin di ujung batang tetap berlangsung tetapi transportnya melalui floem dihambat sehingga konsentrasi auksin di nodus atau ketiak daun yang terdapat di bawah girdl semakin rendah. Dengan turunnya auksin di ketiak daun akan memacu pembentukan hormone sitokinin (Taiz dan Zeiger, 1998).
Prinsip dari perlakuan untuk mengatur keseimbangan hormon pada ketiak daun di bawah ujung batang dapat dilakukan dengan girlding (Taiz and Zeiger, 1998 dan Hopkins, 1995). Girdling adalah peristiwa penghilangan floem secara melingkar pada batang (Hopkins, 1995). Mekanisme penghilangan floem dapat dilakukan dengan melilitkan kawat atau tali. Teori “Direct Theory of Auksin” yang menerangkan tentang fenomena dominansi apikal menerangkan bahwa auksin yang disintesis pada ujung batang akan ditransport secara basipetal ke bagian batang yang lebih bawah. Hal ini menyebabakan terakumulasinya auksin pada ketiak daun dibawahnya yang akan menginisiasi pembentukan tunas lateral pada ketiak daun terhambat atau terjadi dormansi tunas lateral. Inisiasi pembentukan tunas lateral mensyaratkan konsentrasi auksin yang lebih rendah dibandingkan konsentrasi auksin optimal untuk pertumbuhan memanjang batang. Teori ”Nutritive Diversion Theory “ menerangkan bahwa arah distribusi nutrisi dan metabolit dikontrol oleh auksin. Sintesis auksin terjadi di apikal batang dan daun-daun muda yang sedang tumbuh. Auksin tersebut kemudian ditransport secara basipetal ke bagian bawah. Meskipun demikian, konsentrasi auksin pada bagian apikal tetap lebih tinggi dibandingkan dengan bagian di bawah apikal batang. Nutrisi atau metabolit lebih banyak ditransport ke bagian tanaman yang mempunyai konsentrasi auksin tinggi, sehingga nutrisi dan metabolit akan lebih banyak ditransport ke apikal batang sehingga pertumbuhan apikal batang akan menekan pertumbuhan cabang lateral (Khrishnamoorthy, 1981).
Menurut Sato dan Mori (2001), turunnya konsenrasi auksin akan mensintesis hormone sitokinin. Tanaman kontrol tidak menunjukkan pertumbuhan tunas lateral. Hal ini disebabkan karena pada umur tersebut pertumbuhan cabang lateral tertekan oleh pertumbuhan apikal batang. Yang berarti bahwa dominansi apikal masih berpengaruh kuat sepanjang batang atau cabang yang tidak diberi perlakukan girdling dan tanaman control. Jaringan tumbuhan mengandung lebih dari satu macam hormon, hormon-hormon tersebut mungkin mempunyai efek yang sama atau tidak sama. Efek hormon tersebut bisa komulatif, sinergis atau antagonis. Keseimbangan di antara hormon tersebut penting untuk perkembangan tumbuhan yang normal. Pengaruh fitohormon yang sama dapat berbeda pada tanaman yang berbeda, pada musim yang berbeda, juga tergantung pada interaksi dengan metabolit yang lain dan sensitifitas jaringan terhadap fitohormon yang bersangkutan (Lyndon 1990 ; Devies, 1995).
Peristiwa dominansi apikal berkaitan dengan peranan berbagai jenis hormon dan interaksi antara hormon–hormon tersebut. Heddy (1989), berpendapat bahwa auksin, sitokinin, etilen dan ABA perperan dalam peristiwa dominansi apikal ini. Khrishnamoorthy, 1981; Taiz dan Zeiger, 1998 dan Hopkins, 1995 menerangkan fenomena ini dengan teori keseimbangan hormon auksin dengan sitokinin (direct theory of auksin). Auksin disintesis pada bagian tanaman yang sedang aktif mengalami pertumbuhan antara lain di bagian apikal batang. Secara basipetal, auksin tersebut ditransport ke bagian bawah secara terus menerus sehingga konsentrasi auksin pada bagian nodus (ketiak daun) cukup tinggi. Konsentrasi auksin yang cukup tinggi ini akan menghambat aktifitas enzim isopentenil transferase yang merupakan katalisator pembentukan sitokinin, sehingga sintesis sitokinin dihambat. Keseimbangan konsentrasi sitokinin yang rendah dan auksin yang tinggi ini akan menghambat diferansiasi sel pada nodus untuk membentuk primordia cabang. Selain itu, konsentrasi IAA yang tinggi dan terhambatnya aktifitas enzim isopentenil transferase di nodus secara tidak langsung akan berakibat memacu sintesis ABA yang akan menghambat pertumbuhan cabang lateral.
Batang yang diberi perlakuan, dua cabang lateral tidak tumbuh dibawah girdl setelah 2 bulan perlakuan. Hal ini disebabkan karena pada saat itu pengaruh dominansi apikal pada dua nodus dibawah perlakuan girdl masih ada. Girdl menyebabkan terhambatnya transport auksin dari meristem apikal ke bawah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hoad (1995), bahwa transport auksin melalui floem, sedang menurut Salisbury dan Ross (1991) transport auksin melalui sel-sel parenkim yang mengelilingi floem. Menurut direct theory of auksin, hal ini kemudian akan menyebabkan konsentrasi auksin di bagian nodus yang berada di bawah apikal batang makin lama makin berkurang. Rendahnya konsentrasi auksin pada nodus ini akan memacu aktfiitas enzim isopentenil transferase yang merupakan katalisator pada sintesis sitokinin, sehingga sintesis sitokinin dipacu (Sato dan Mori, 2001).
Keseimbangan konsentrasi sitokinin tinggi dan auksin rendah ini akan memacu terjadinya pembelahan dan diferensiasi sel pada nodus untuk membentuk primordia cabang lateral. Lebih lanjut Khrishnamoorthy (1981), bahwa pada peristiwa pematahan dominansi apikal seperti pada perlakuan girdling ini sitokinin berpengaruh memacu diferensiasi berkas pengangkut pada primordial cabang, sehingga memfasilitasi transport air dan nutrisi dari batang ke primordium dan memacu pembentukan cabang lateral. Selanjutnya primordium cabang yang baru terbentuk ini karena merupakan jaringan meristem, maka kemudian akan mensintesis auksin sendiri untuk pertumbuhannya menjadi cabang atau untuk pertumbuhan cabang itu sendiri. Meskipun perlakuan girdling selain menghambat transport auksin juga menghambat transport fotosintat dari daun yang ada di atas girdl sebagai source ke bawah girdl, tetapi terjadi pembentukan dan pertumbuhan cabang lateral. Kondisi ini disebabkan karena pada perlakuan girdling ini ketersediaan hara tercukupi dengan dilakukannya pemupukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wareing dan Phillips (1981), yang menyatakan bahwa terhambatnya pertumbuhan cabang lateral menurut “Nutrtive Diversion Theory “disebabkan nutrisi lebih banyak ditransport ke apikal batang dibanding ke tunas lateral hanya berlaku pada kondisi defisiensi hara, sedang pada kondisi hara tercukupi kekurangan nutrisi pada nodus tidak menghambat pembentukan cabang lateral.
Heddy (1989), menyatakan pengaruh fisiologi auksin pada tumbuhan meliputi:
1. Pemanjangan sel
Pada koleoptil batang, jika terdapat jumlah auksin yang optimal dapat mempengaruhi pemanjangan sel.
2. Tunas ketiak
IAA yang telah dibentuk di meristem apikal ditransport ke bagiab bawah tumbuhan dapat menghambat pekembangan tunas ketiak. Namun bila meristem apikal dipotong maka akan meningkatkan perkembangan tunas lateral.
3. Absisi daun
Daun dapat terpisah dengan batang bila sel pada absisi daun mengalami perubahan kimia dan fisik
4. Aktifitas kambium
Auksin merangsang pembelahan sel kambium
5. Tumbuh akar
IAA dapat menghambat pemanjangan akar bila tidak dalam keadaan optimal.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa IBA pada konsentrasi 1,5 ppm lebih efektif dibandingkan dengan IAA.
Daftar Referensi
Darmanti S. 2008. Pembentukan Cabang Lateral Jarak Pagar (Jatropha curcas) Setelah Perlakuan Girdling. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan, Jurusan Biologi FMIPA Undip.
Davies, J. P., (1995), Plant Hoemones : Their Nature, Occurrence and Function. Dalam P.J. Davies (edt) : Plant Hormones : Physiology, Biochemestry and Molecullar Biology, Kluwer Academic Publisher, Boston.
Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV. Raajawali, Jakarta.
Hoad, G. V (1995), Transport of Hormones in floem of Higher Plant, Plant Growth regulation, 16: 173-337.
Hopkins, W. G. 1995. Introduction to Plant Physiology. John Wiley & Son. Inc. USA.
Krishnamorthy, H. N. 1981. Plant Growth Substance. Tata McGraw Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1985. Plant Physiology Third Edition. Wadsworth Publishing Company, California.
Sato, S.S and H. Mori, (2001), Control Outgrowth and Dormancy In Axilary Bud. http://www.plantphysiol.org.
Taiz L. and E. Zieger, (1998), Plant Physiology, Sinauer Associates, Inc., Publisher, Sunderland, Massachusetts.
Wareing, P.F. dan Philips, I. D.J. 1981. The Control of Growth and Differentiation in Plant. Pergamon Press, Oxford.
Acara praktikum :Dominansi apikal
Tujuan :Untuk mengetahui pengaruh zat pengatur tumbuh IAA terhadap pertumbuhan tunas lateral.
A. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa terjadi perbedaan waktu tumbuh antara tanaman yang diberi ZPT IAA dengan ZPT IBA. Tanaman yang diberi perlakuan IAA dengan konsentrasi 0 ppm, 1 ppm dan 2 ppm tidak tumbuh, sedangkan IAA dengan konsentrasi 1,5 ppm mulai tumbuh pada hari ke-6. Tanaman yang diberi perlakuan IBA dengan konsentrasi 0 ppm mulai tumbuh pada hari ke-6, IBA dengan konsentrasi 1 ppm mulai tumbuh pada hari ke-9, IBA dengan konsentrasi 1,5 ppm mulai tumbuh pada hari ke-4, sedangkan IBA dengan konsentrasi 2 ppm tidak tumbuh. Dominasi apikal merupakan fenomena pertumbuhan ujung batang yang mendominasi pertumbuhan bagian lain sehingga pembentukan cabang lateral akan terhambat (Darmanti, 2008).
Sebagian besar tanaman apabila pertumbuhan batang telah mencukupi maka secara alami cabang lateral akan tumbuh pada nodus bagian bawah yang cukup jauh dari ujung batang. Proses ini dapat disebabkan karena semakin jauh dari ujung batang pengaruh dominansi apikal semakin berkurang. Dominansi apikal dan pembentukan cabang lateral ini dipengaruhi oleh keseimbangan konsentrasi hormon (Khrishnamoorthy, 1981; Taiz and Zeiger, 1998 dan Hopkins, 1995). Perlakuan girdling, sintesis auksin di ujung batang tetap berlangsung tetapi transportnya melalui floem dihambat sehingga konsentrasi auksin di nodus atau ketiak daun yang terdapat di bawah girdl semakin rendah. Dengan turunnya auksin di ketiak daun akan memacu pembentukan hormone sitokinin (Taiz dan Zeiger, 1998).
Prinsip dari perlakuan untuk mengatur keseimbangan hormon pada ketiak daun di bawah ujung batang dapat dilakukan dengan girlding (Taiz and Zeiger, 1998 dan Hopkins, 1995). Girdling adalah peristiwa penghilangan floem secara melingkar pada batang (Hopkins, 1995). Mekanisme penghilangan floem dapat dilakukan dengan melilitkan kawat atau tali. Teori “Direct Theory of Auksin” yang menerangkan tentang fenomena dominansi apikal menerangkan bahwa auksin yang disintesis pada ujung batang akan ditransport secara basipetal ke bagian batang yang lebih bawah. Hal ini menyebabakan terakumulasinya auksin pada ketiak daun dibawahnya yang akan menginisiasi pembentukan tunas lateral pada ketiak daun terhambat atau terjadi dormansi tunas lateral. Inisiasi pembentukan tunas lateral mensyaratkan konsentrasi auksin yang lebih rendah dibandingkan konsentrasi auksin optimal untuk pertumbuhan memanjang batang. Teori ”Nutritive Diversion Theory “ menerangkan bahwa arah distribusi nutrisi dan metabolit dikontrol oleh auksin. Sintesis auksin terjadi di apikal batang dan daun-daun muda yang sedang tumbuh. Auksin tersebut kemudian ditransport secara basipetal ke bagian bawah. Meskipun demikian, konsentrasi auksin pada bagian apikal tetap lebih tinggi dibandingkan dengan bagian di bawah apikal batang. Nutrisi atau metabolit lebih banyak ditransport ke bagian tanaman yang mempunyai konsentrasi auksin tinggi, sehingga nutrisi dan metabolit akan lebih banyak ditransport ke apikal batang sehingga pertumbuhan apikal batang akan menekan pertumbuhan cabang lateral (Khrishnamoorthy, 1981).
Menurut Sato dan Mori (2001), turunnya konsenrasi auksin akan mensintesis hormone sitokinin. Tanaman kontrol tidak menunjukkan pertumbuhan tunas lateral. Hal ini disebabkan karena pada umur tersebut pertumbuhan cabang lateral tertekan oleh pertumbuhan apikal batang. Yang berarti bahwa dominansi apikal masih berpengaruh kuat sepanjang batang atau cabang yang tidak diberi perlakukan girdling dan tanaman control. Jaringan tumbuhan mengandung lebih dari satu macam hormon, hormon-hormon tersebut mungkin mempunyai efek yang sama atau tidak sama. Efek hormon tersebut bisa komulatif, sinergis atau antagonis. Keseimbangan di antara hormon tersebut penting untuk perkembangan tumbuhan yang normal. Pengaruh fitohormon yang sama dapat berbeda pada tanaman yang berbeda, pada musim yang berbeda, juga tergantung pada interaksi dengan metabolit yang lain dan sensitifitas jaringan terhadap fitohormon yang bersangkutan (Lyndon 1990 ; Devies, 1995).
Peristiwa dominansi apikal berkaitan dengan peranan berbagai jenis hormon dan interaksi antara hormon–hormon tersebut. Heddy (1989), berpendapat bahwa auksin, sitokinin, etilen dan ABA perperan dalam peristiwa dominansi apikal ini. Khrishnamoorthy, 1981; Taiz dan Zeiger, 1998 dan Hopkins, 1995 menerangkan fenomena ini dengan teori keseimbangan hormon auksin dengan sitokinin (direct theory of auksin). Auksin disintesis pada bagian tanaman yang sedang aktif mengalami pertumbuhan antara lain di bagian apikal batang. Secara basipetal, auksin tersebut ditransport ke bagian bawah secara terus menerus sehingga konsentrasi auksin pada bagian nodus (ketiak daun) cukup tinggi. Konsentrasi auksin yang cukup tinggi ini akan menghambat aktifitas enzim isopentenil transferase yang merupakan katalisator pembentukan sitokinin, sehingga sintesis sitokinin dihambat. Keseimbangan konsentrasi sitokinin yang rendah dan auksin yang tinggi ini akan menghambat diferansiasi sel pada nodus untuk membentuk primordia cabang. Selain itu, konsentrasi IAA yang tinggi dan terhambatnya aktifitas enzim isopentenil transferase di nodus secara tidak langsung akan berakibat memacu sintesis ABA yang akan menghambat pertumbuhan cabang lateral.
Batang yang diberi perlakuan, dua cabang lateral tidak tumbuh dibawah girdl setelah 2 bulan perlakuan. Hal ini disebabkan karena pada saat itu pengaruh dominansi apikal pada dua nodus dibawah perlakuan girdl masih ada. Girdl menyebabkan terhambatnya transport auksin dari meristem apikal ke bawah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hoad (1995), bahwa transport auksin melalui floem, sedang menurut Salisbury dan Ross (1991) transport auksin melalui sel-sel parenkim yang mengelilingi floem. Menurut direct theory of auksin, hal ini kemudian akan menyebabkan konsentrasi auksin di bagian nodus yang berada di bawah apikal batang makin lama makin berkurang. Rendahnya konsentrasi auksin pada nodus ini akan memacu aktfiitas enzim isopentenil transferase yang merupakan katalisator pada sintesis sitokinin, sehingga sintesis sitokinin dipacu (Sato dan Mori, 2001).
Keseimbangan konsentrasi sitokinin tinggi dan auksin rendah ini akan memacu terjadinya pembelahan dan diferensiasi sel pada nodus untuk membentuk primordia cabang lateral. Lebih lanjut Khrishnamoorthy (1981), bahwa pada peristiwa pematahan dominansi apikal seperti pada perlakuan girdling ini sitokinin berpengaruh memacu diferensiasi berkas pengangkut pada primordial cabang, sehingga memfasilitasi transport air dan nutrisi dari batang ke primordium dan memacu pembentukan cabang lateral. Selanjutnya primordium cabang yang baru terbentuk ini karena merupakan jaringan meristem, maka kemudian akan mensintesis auksin sendiri untuk pertumbuhannya menjadi cabang atau untuk pertumbuhan cabang itu sendiri. Meskipun perlakuan girdling selain menghambat transport auksin juga menghambat transport fotosintat dari daun yang ada di atas girdl sebagai source ke bawah girdl, tetapi terjadi pembentukan dan pertumbuhan cabang lateral. Kondisi ini disebabkan karena pada perlakuan girdling ini ketersediaan hara tercukupi dengan dilakukannya pemupukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wareing dan Phillips (1981), yang menyatakan bahwa terhambatnya pertumbuhan cabang lateral menurut “Nutrtive Diversion Theory “disebabkan nutrisi lebih banyak ditransport ke apikal batang dibanding ke tunas lateral hanya berlaku pada kondisi defisiensi hara, sedang pada kondisi hara tercukupi kekurangan nutrisi pada nodus tidak menghambat pembentukan cabang lateral.
Heddy (1989), menyatakan pengaruh fisiologi auksin pada tumbuhan meliputi:
1. Pemanjangan sel
Pada koleoptil batang, jika terdapat jumlah auksin yang optimal dapat mempengaruhi pemanjangan sel.
2. Tunas ketiak
IAA yang telah dibentuk di meristem apikal ditransport ke bagiab bawah tumbuhan dapat menghambat pekembangan tunas ketiak. Namun bila meristem apikal dipotong maka akan meningkatkan perkembangan tunas lateral.
3. Absisi daun
Daun dapat terpisah dengan batang bila sel pada absisi daun mengalami perubahan kimia dan fisik
4. Aktifitas kambium
Auksin merangsang pembelahan sel kambium
5. Tumbuh akar
IAA dapat menghambat pemanjangan akar bila tidak dalam keadaan optimal.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa IBA pada konsentrasi 1,5 ppm lebih efektif dibandingkan dengan IAA.
Daftar Referensi
Darmanti S. 2008. Pembentukan Cabang Lateral Jarak Pagar (Jatropha curcas) Setelah Perlakuan Girdling. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan, Jurusan Biologi FMIPA Undip.
Davies, J. P., (1995), Plant Hoemones : Their Nature, Occurrence and Function. Dalam P.J. Davies (edt) : Plant Hormones : Physiology, Biochemestry and Molecullar Biology, Kluwer Academic Publisher, Boston.
Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV. Raajawali, Jakarta.
Hoad, G. V (1995), Transport of Hormones in floem of Higher Plant, Plant Growth regulation, 16: 173-337.
Hopkins, W. G. 1995. Introduction to Plant Physiology. John Wiley & Son. Inc. USA.
Krishnamorthy, H. N. 1981. Plant Growth Substance. Tata McGraw Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1985. Plant Physiology Third Edition. Wadsworth Publishing Company, California.
Sato, S.S and H. Mori, (2001), Control Outgrowth and Dormancy In Axilary Bud. http://www.plantphysiol.org.
Taiz L. and E. Zieger, (1998), Plant Physiology, Sinauer Associates, Inc., Publisher, Sunderland, Massachusetts.
Wareing, P.F. dan Philips, I. D.J. 1981. The Control of Growth and Differentiation in Plant. Pergamon Press, Oxford.
Langganan:
Postingan (Atom)