Rabu, 18 Mei 2011

MORFOMETRI

MORFOMETRI


PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Morfometri tradisional adalah perbandingan antara univariate karakter meristik dan morfometrik seperti panjang tubuh, lebar tubuh, dan tinggi tubuh yang mampu mengidentifikasi perbedaan antar species. Kekurangannya dari morfometri tradisional yaitu seringkali gagal mengidentifikasi perbedaan antara galur populasi (Winans, 1984).
Truss morphometrics yaitu upaya menggambarkan bentuk ikan dengan cara mengukur bagian-bagian dari tubuhnya atas dasar titik-titik patokan. Kelebihan dari truss morphometrics adalah memberikan gambaran yang lebih menyeluruh dan menghasilkan karakterisasi geometrik bentuk tubuh ikan secara lebih sistematis dan menunjukkan peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan bentuk tubuh (Straus, 1982).
Contoh ukuran bagian-bagian tubuh penting yang mendukung karakter morfologi ikan nilem yaitu panjang antara mulut dengan pertengahan bagian ekor, titik maxilla dorsa dan maxilla ventral, titik maxilla dorsal dengan pangkal operkulum bagian ventral, titik maxilla dorsal dengan pangkal operkulum bagian dorsal, titik maxilla ventral dengan pangkal operkulum bagian ventral, titik maxilla ventral dengan pangkal operkulum bagian dorsal dan lain sebagainya (Straus, 1982).
Ikan Nilem adalah ikan organik yang artinya tidak membutuhkan pakan tambahan atau pellet. Ikan Nilem termasuk ikan pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora). Larva yang baru menetas biasanya memakan jenis zooplankton yaitu rotifer. Sedangkan benih dan ikan dewasa memakan tumbuh-tumbuhan air seperti chlorophyceae, characeae, ceratophyllaceae, polygonaceae (Susanto, 2006).

B. Tujuan
Tujuan dari praktikum morfometri adalah mengenal karakter morfologi pada hewan avertebrata dan vertebrata yang digunakan sebagai dasar untuk melakukan detereminasi, mengukur bagian morfologi tubuh yang penting pada hewan avertebrata dan vertebrata di setiap fase pertumbuhannya sehingga informasi untuk melakukan determinasi taksa menjadi lebih lengkap dan akurat dan menerapakan teknik truss morphometrics pada ikan, agar mendapatkan gambaran tubuh lebih menyeluruh.


II. Materi
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum kali ini adalah jarum preparat, bak preparat, sterofoam, lup, jangka sorong, kertas hvs dan alat tulis. Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum morfometri adalah ikan nilem (Osteochillus hasselti).


HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil


Ikan Nilem (Osteochillus hasselti)
B. Pembahasan
Morfometri merupakan peneraan atau pengukuran morfologi yang meliputi ukuran panjang dan berat, serta skala kondisi fisik berdasarkan standar morfologi tubuh. Morfometri dimaksudkan untuk mengukur bagian tubuh yang penting pada hewan agar diketahui kisaran ukurannya, di setiap fase pertumbuhan pada masing-masing jenis spesies hewan sehingga informasi untuk determinasi taksa menjadi lebih lengkap dan akurat (Winans, 1984).
Metode analisis morfologis tradisional yaitu perbandingan antara univariate karakter meristik dan morfometrik seperti panjang tubuh, lebar tubuh, dan tinggi tubuh, yang mampu mengidentifikasi perbedaan antar species, sering kali gagal mengidentifikasi perbedaan antara galur atau populasi. Karakter morfometri baku yang terkonsentrasi pada ukuran-ukuran panjang dan bagian kepala, badan dan ekor menghasilkan pola gambaran bentuk tubuh yang cenderung bias (Winans, 1984).
Teknik truss morphometrics merupakan salah satu upaya menggambarkan bentuk ikan dengan cara mengukur bagian-bagian dari tubuhnya atas dasar titik-titik patokan. Pengukuran karakter morfometrik dengan pola truss network menberikan gambaran yang lebih menyeluruh. Metode ini menghasilkan karakterisasi geometri bentuk tubuh ikan secara lebih sistematik dan menunjukan peningkatan kemampuan untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan bentuk tubuh (Strauss dan Bookstein, 1982). Patokan titik truss pada tubuh ikan sebanyak 11 buah yang meliputi : pangkal rahang bawah, pangkal moncong bawah, pangkal moncong atas, batas antara kepala dengan badan (ujung dorsal kepala), dst.
Ikan Nilem (Osteochillus hasselti ♀), menurut Radiopoetro (1977) dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Classis : Pisces
Subclass : Teleostei
Ordo : Ostariophysi
Subordo : Cyprinoidae
Famili : Cyprinidae
Genus : Osteochillus
Spesies : Osteochillus hasselti
Ikan Nilem adalah salah satu spesies ikan yang masuk dalam famili Cyprinidae, sehingga bentuk tubuh ikan nilem hampir serupa dengan ikan mas, hanya kepalanya relative lebih kecil. Pada sudut-sudut mulutnya terdapat dua pasang sungut-sungut peraba. Sirip punggung disokong oleh 3 jari-jari keras dan 12 - 18 jari-jari lunak. Sirip ekor bercagak dua, bentuknya simetris. Sirip dubur disokong oleh 3 jari-jari keras dan 5 jari-jari lunak. Sirip perut disokong oleh 1 jari-jari keras dan jari-jari lunak. Sirip dada disokong oleh 1 jari-jari dan 13 – 15 jari-jari lunak. Jumlah sisik-sisik gurat sisi ada 33 – 36 keping (Djuhanda, 1982).
Ikan Nilem dapat mencapai panjang tubuh 32 cm, warna tubuhnya hijau abu-abu. Ikan Nilem memiliki popularitas sedikit di bawah ikan mas. Ikan nilem dikenal dengan nama lain ikan Lehat, Regis dan Penopa di berbagai daerah lain (Halfman, 1994).
Ikan Nilem adalah ikan organik yang artinya tidak membutuhkan pakan tambahan atau pellet. Ikan nilem termasuk ikan pemakan tumbuh-tumbuhan (herbivora). Larva yang baru menetas biasanya memakan jenis zooplankton (hewan yang berukuran kecil atau mikro yang hidup di perairan dan bergerak akibat arus perairan) yaitu rotifer. Sedangkan benih dan ikan dewasa memakan tumbuh-tumbuhan air seperti chlorophyceae, characeae, ceratophyllaceae, polygonaceae (Mayr, 1982).
Ikan mempunyai alat gerak berupa sirip yang terdiri dari dorsal fin (sirip punggung), sepasang pectoral fin (sirip dada), sepasang abdominal fin (sirip perut) dan anal fin (sirip yang terdapat di depan porus urogenitalis) serta sebuah caudal fin (sirip ekor). Sirip ikan terdiri atas sirip tunggal dan sirip berpasangan. Sirip tunggal terdiri atas dorsal fin, anal fin dan caudal fin. Sirip berpasangan terdiri atas pectoral fin dan abdominal fin (Hilderbrand, 1974).


KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Kekurangannya dari morfometri tradisional yaitu seringkali gagal mengidentifikasi perbedaan antara galur populasi.
2. Kelebihan dari truss morphometrics adalah memberikan gambaran yang lebih menyeluruh dan menghasilkan karakterisasi geometrik bentuk tubuh ikan secara lebih sistematis.
3. Ikan nilem adalah salah satu spesies ikan yang masuk dalam famili Cyprinidae, sehingga bentuk tubuh ikan nilem hampir serupa dengan ikan mas, hanya kepalanya relative lebih kecil.


DAFTAR REFERENSI
Djuhanda, T. 1982. Anatomi dari Empat Species Hewan Vertebrata. Armico, Bandung.
Hilderbrand, M. 1974. Analysis of Vertebrata Structure. John Wiley and Sons Inc, USA.
Mayr, Ernest. 1982. Principles Of Systematic Zoologi. New Delhi, Tata McGraw-Hill Publishing Company.

Radiopoetro. 1990. Zoologi. Erlangga, Jakarta.
Soeseno, S.1985. Pemeliharaan Ikan di Kolam Pekarangan. Kanisius. Yogyakarta.
Susanto, H. 2006. Budidaya Ikan di Pekarangan edisi Revisi. Penebar Swadaya.
Helfman, G. S. 1994. The diversity of Fishes. Blackwell Science. Berlin.

Saanin, H. 1968. Taksonomi dan Kunci Identifikasi Ikan I. Bina Tjipta, Bandung.

Minggu, 03 April 2011

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
Acara praktikum : Peranan auksin terhadap perakaran stek
Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh berbagai konsentrasi zat pengatur tumbuh IAA dan NAA serta akuades.




B. Pembahasan

Berdasarkan hasil praktikum ternyata didapatkan hasil bahwa pemberian IAA dengan konsentrasi 60 ppm menunjukan pertumbuhan jumlah akar yang paling optimum dengan pertumbuhan jumlah akar 6, dengan panjang akar terpanjang 2,5 cm. Pemberian NAA dengan konsentrasi 40 ppm dan 60 ppm menunjuk pertumbuhan jumlah akar yang optimum dengan panjang akar 2 cm. Berdasarkan Salisbury dan Ross (1985), IAA yang terdapat di akar pada konsentrasi yang hampir sama dibagian tumbuhan lainnya. Pemberian auksin dengan konsentrasi 10-7 sampai 10-13 M mampu memacu pemanjangan akar pada banyak spesies. Konsentrasi IAA yang lebih tinggi (tapi masih cukup rendah antara 1-10 µM) menyebabkan pertumbuhan akar terhambat.
Auksin utama adalah indole-3 acetic acid (IAA) (Hopkins,1995) sedangkan Naphtalene Acetyl Acid (NAA) adalah auksin buatan. IAA dan NAA selain memacu perpanjangan sel juga menyebabkan perpanjangan koleoptil dan batang. Distribusi IAA dalam organ tumbuhan (akar dan batang) tidak merata, sehingga akan menyebabkan perbesaran sel yang tidak sama dan disertai dengan pembengkakan organ (geotropisme dan Fototropisme). Sintesis IAA terjadi dalam 3 tahap yaitu Konversi triptofan menjadi indole 3 pyruvic acid (IPA), karboksilasi IPA menjadi indole 3 acetaldehyde (IAAid), IAAid dioksidasi menjadi IAA oleh Nad-dependen indole-3 acetaldehyde dehidrogenase.
IAA adalah endogenous auksin yang terbentuk dari triptofan yang merupakan suatu senyawa dengan inti Indole dan selalu terdapat dalam jaringan tanaman. Di dalam proses biosintesis, triptofan berubah menjadi IAA dengan membentuk Indole Pyruvic Acid dan Indole-3-Acetaldehyde. IAA ini dapat pula terbentuk dari Triptamine yang selanjutnya menjadi Indole-3-acetaldehyde, selanjutnya menjadi Indole-3-acetid acid (IAA). Perubahan dari Indole-3-acetonitrile menjadi IAA dengan bantuan enzyme nitrilase prosesnya masih belum diketahui (Abidin, 1985).
Menurut Gardner et al.(1985), respon auksin berhubungan dengan konsentrasinya. Konsentrasi yang tinggi bersifat menghambat yang dapat dijelaskan sebagai persaingan untuk mendapatkan peletakan pada tempat kedudukan penerima yaitu penambahan konsentrasi meningkatkan kemungkinan terdapatnya molekul yang sebagian melekat menempati kedudukan penerima yang menyebabkan kurang efektifnya gabungan tersebut. Auksin (IAA) berpengaruh terhadap jumlah dan panjang akar, jumlah daun dan jumlah plantlet. Pemberian IAA berakibat pada jumlah akar yaitu menghambat dalam mempengaruhi pembentukan akar pada eksplan, dan menyebabkan jumlah akar menjadi sedikit. Akar pada dasarnya terhambat pada hampir semua kisaran hormon. Respon pemberian IAA sangat bervariasi tergantung pada kepekaan organ tanaman. Batang merespon konsentrasi auksin dalam kisaran yang cukup lebar.
Auksin merupakan salah satu zat pengatur tumbuh tanaman (plant growth regulator) yang aktivitasnya dapat merangsang atau mendorong pengembangan sel. Keberadaan IAA (Indole Acetic Acid) di alam dapat diidentifikasikan sebagai auksin yang aktif di dalam tumbuhan (endogenous) yang diproduksi dalam jaringan meristematik yang aktif. Contoh IAA dapat ditemukan ditunas, sedangkan IBA (Indole Butyric Acid) dan NAA (Naphtaleneacetic acid) merupakan auksin sintetis (Hoesen et al., 2000).
Menurut Dwidjoseputro (1992) salah satu fungsi auksin adalah sebagai herbisida. Fungsi auksin yang lain menurut Delvin (1968), berperan pada perpanjangan sel, apikal dominansi, inisiasi akar, partenokarpi, absisi dan respirasi. Lebih lanjut Heddy (1989), menjelaskan pengaruh fisiologi auksin pada tumbuhan yaitu :
a. pemanjangan sel
IAA dan auksin lain merangsang pemanjangan sel dan juga dapat berakibat pada pemanjangan koleoptil batang.
b. tunas ketiak
IAA yang dibentuk pada meristem apikal dan ditransport ke bawah dapat menghambat perkembangan tunas ketiak (lateral). Jika meristem apikal dipotong, tunas lateral akan berkembang.
c. absisi daun
Daun akan terpisah dari batang jika sel-sel pada daerah absisi mengalami perubahan kimia dan fisik.
d. aktivitas kambium
Auxin merangsang pembelahan sel dalam darah kambium.
e. tumbuh akar
Dalam akar, pengaruh IAA biasanya menghambat pemanjangan sel, kecuali pada konsentrasi yang sangat rendah.
Mekanisme auksin menurut Darmawan dan Baharsjah (1983), pada banyak tanaman pucuk lateral tidak mau tumbuh bila pucuk terminalnya utuh. Pucuk terminal apabila dipotong akan membuat pucuk lateral tumbuh. Pemotongan pucuk terminal akan menghasilkan auksin dalam jumlah besar sehingga konsentrasinya menghambat pertumbuhan pucuk lateral. Auksin yang dibentuk dalam ujung koleoptil bergerak ke bawah (basipetal). Pergerakan auksin hanya ke satu arah yaitu ke bawah atau menjauhi ujung pucuk. Lebih lanjut Hopkins (1995), sintesis auksin memerlukan Zn sebagai katalisator.
Menurut Wattimena (1987) dan Wareing dan Philips (1981) konsentrasi auksin yang diperlukan untuk pertumbuhan relatif tinggi daripada kebutuhan auksin untuk pertumbuhan akar. Pertumbuhan akar hanya akan dihambat oleh auksin pada tingkat konsentrasi yang memacu pertumbuhan batang faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan auksin endogen dapat memacu pertumbuhan hanya bila faktor-faktor lingkungan ini juga menghambat sintesis etilen. Menurut Tjitrosoemo (1994), faktor lingkungan yang besar pengaruhnya terhadap pemanjangan batang adalah suhu dan intensitas cahaya, sedangkan pada pemanjangan akar dipengaruhi oleh pasokan fotontesis (umumnya dalam bentuk sukrosa).


Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan mengenai praktikum kebutuhan auksin dalam tanaman adalah sebagai berikut :
1. Efektivitas IAA lebih tinggi bila dibandingkan dengan NAA dalam memacu pertumbuhan akar.
2. Konsentrasi optimum IAA untuk akar pada konsentrasi 60 ppm lebih optimum dibandingkan NAA dan akuades.



























Daftar Referensi


Abidin, Z. 1985. Dasar-dasar Pengetahuan tentang Zat Pengatur Tumbuh. Penerbit Angkasa, Bandung.

Delvin, R. M. 1968. Plant Physiology. Peinhold Book Corporation, London.

Darmawan. J & Baharsjah J. S. 1983. Dasar-dasar Fisiologi Tanaman. PT Suryandaru Utama, Jakarta.

Dwidjoseputro, D. 1992. Pengantar Fisiologi TUmbuhan. PT. Gramedia Pustaka Utama Jakarta Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV. Rajawali, Jakarta.

Gardner, F. P., R.B. Pearce dan R. L. Mitchell. 1985. Physiology of Crop Plants. The Iowa State University Press, USA.

Hoesen, D. S. H. Sumarnie, H. Priyono. 2000. Peranan Zat Pengatur Tumbuh IBA, NAA dan IAA Pada Perbanyakan Amarilis Merah ( Amarillidaceae). LIPI Bogor.

Heddy, S. 1983. Hormon Tumbuhan. CV Rajawali, Jakarta.Hopkins, W. G. 1995. Introduction to Plant Physiology. John Wiley & Sons. Inc, USA.

Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1985. Plant Physiology Third Edition. Wadsworth Publishing Company, California.

Supeni, T. 1997. Biologi. Penerbit Erlangga, Jakarta.

Tjitrosoemo, S. 1994. Botani Umum 1. Angkasa, Bandung.

Wareing, P.F. dan Philips, I. D.J. 1981. The Control of Growth and Differentiation in Plant. Pergamon Press, Oxford.

Wattimena, G. A. 1987. Zat Pengatur Tumbuh. PAU Bioteknologi IPB, Bogor.
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
Acara praktikum : Mengatur kemasakan buah dengan menggunakan zat pengatur tumbuh.
Tujuan : Untuk mengetahui konsentrasi zat pengatur tumbuh yang mampu mempercepat kemasakan buah.



A. Pembahasan
Praktikum pemasakan buah kali ini menggunakan buah pisang sebagai objek untuk melihat pengaruh etilen dalam pemasakan buah. Konsentrasi etilen yang digunakan yaitu 0 ppm, 500 ppm, 700 ppm dan 900 ppm. Berdasarkan data yang diperoleh, terlihat adanya perbedaan hasil waktu pemasakan buah antara larutan etilen dengan konsentrasi 0, 500, 700, dan 900 ppm. Hari pertama didapatkan hasil yang sama yaitu buah belum masak dengan ciri yang sama pula yaitu tekstur keras, warna hijau, dan tidak berbau, sedangkan buah masak pada hari yang berbeda yaitu 900 ppm pada hari ke-2, 700 ppm pada hari ke-2, dan 500 ppm pada hari ke-3, dan 0 ppm pada hari ke-4. Pisang yang masak menjadi lunak, berwarna kuning, dan berbau. Data hasil tersebut sesuai dengan referensi yang ada karena dengan pemberian etilen dengan konsentrasi yang berbeda menghasilkan efek yang berbeda pula (Abidin,1985). Jumlah etilen yang dibutuhkan untuk proses pematangan buah tidak selalu tetap akan tetapi berubah-ubah selama proses pematangan, jumlah etilen yang ada di dalam buah tetap sekitar 1,0 – 1,5 ppm sampai beberapa jam sebelum proses respirasinya meningkat. Segera setelah pernafasan meningkat dan mencapai puncak klimakterik, jumlah etilen meningkat menjadi 30 ppm (Miller, 1938).
Kemasakan atau pematangan (ripening) adalah suatu proses fisiologis, yaitu terjadinya perubahan dari kondisi yang tidak menguntungkan ke kondisi yang menguntungkan, ditandai dengan perubahan tekstur, warna, rasa dan aroma (Abidin, 1985). Proses pematangan buah pisang merupakan proses pengakumulasian gula dengan merombak pati menjadi senyawa yang lebih sederhana. Tidak seperti buah pada umumnya yang mengakumulasi gula secara langsung dari pengiriman asimilat hasil fotosintesis di daun yang umumnya dikirim ke organ lain dalam bentuk sukrosa (Anderson dan Beardall, 1991).
Klimaterik adalah suatu periode mendadak yang unik bagi buah-buahan tertentu, dimana selama proses ini terjadi serangkaian perubahan biologis yang diawali dengan proses pembuatan etilen. Proses ini ditandai dengan mulainya proses pematangan. Buah-buahan yang tidak mengalami periode tersebut digolongkan kedalam buah non-klimakterik. Buah yang digolongkan ke dalam buah klimakterik menunukkan adanya peningkatan CO2 yang mendadak selama pematangan buah, sedangkan buah non klimaterik tidak menghasilkan CO2 yang terus menerus meningkat, tetapi terus turun perlahan-lahan (Wilkins, 1969).
Menurut Nogge and Fritz (1989), berdasarkan kandungan amilumnya, buah dibedakan menjadi buah klimaterik dan buah nonklimaterik. Buah klimaterik adalah buah yang banyak mengandung amilum, seperti pisang mangga, apel, alpokat dan dapat dipacu kematangannya dengan etilen. Etilen endogen yang dihasilkan oleh buah yang telah matang dengan sendirinya dapat memacu pematangan pada sekumpulan buah yang diperam. Buah non klimaterik adalah buah yang kandungan amilumnya sedikit, seperti jeruk, anggur, semangka dan nanas. Pemberian etilen pada buah ini dapat memacu laju respirasi, tetapi tidak memacu produksi etilen endogen dan pematangan buah.
Kecepatan pemasakan buah terjadi karena zat tumbuh mendorong pemecahan tepung dan penimbunan gula (Kusumo, 1990). Proses pemecahan tepung dan penimbunan gula tersebut merupakan proses pemasakan buah dimana ditandai dengan terjadinya perubahan warna, tekstur buah dan bau pada buah atau terjadinya pemasakan buah. Kebanyakan buah tanda kematangan pertama adalah hilangnya warna hijau. Kandungan klorofil buah yang sedang masak lambat laut berkurang. Saat terjadi klimaterik, klorofilase bertanggung jawab atas terjadinya penguraian klorofil. Penguraian hidrolitik klorofilase yang memecah klorofil menjadi bagian vital dan inti porfirin yang masih utuh, maka klorofilida yang bersangkutan tidak akan mengakibatkan perubahan warna. Bagian profirin pada molekul klorofil dapat mengalami oksidasi atau saturasi, sehingga warna akan hilang. Lunaknya buah disebabkan oleh adanya perombakan photopektin yang tidak larut. Pematangan biasanya meningkatkan jumlah gula-gula sederhana yang memberi rasa manis (Fantastico, 1986).
Proses pematangan buah meliputi dua proses yaitu :
1. Etilen mempengaruhi permeabilitas membran sehingga daya permeabilitas menjadi lebih besar
2. Kandungan protein meningkat karena etilen telah merangsang sintesis protein. Protein yang terbentuk terlibat dalam proses pematangan buah karena akan meningkatkan enzim yang menyebabkan respirasi klimakterik (Wereing dan Philips, 1970).
Etilen adalah senyawa hidrokarbon tidak jenuh yang pada suhu kamar berbentuk gas. Senyawa ini dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan penting dalam proses pertumbuhan dan pematangan hasil-hasil pertanian (Purba, 1996). Menurut Abidin (1985), etilen adalah hormon tumbuh yang secara umum berlainan dengan auksin, giberellin dan sitokinin. Etilen dalam keadaan normal akan berbentuk gas dan struktur kimianya sangat sederhana sekali. Etilen yang berada di alam akan berperan apabila terjadi perubahan secara fisiologis pada suatu tanaman. Hormon ini akan berperan dalam proses pematangan buah dalam fase klimaterik.
Abidin (1985), menyatakan beberapa hal yang harus diperhatikan dalam membahas mekanisme kerja etilen, yaitu :
1. Jangka waktu yang diperlukan bagi etilen untuk menyelesaikan proses pematangan
2. Etilen mempunyai sifat-sifat yang sangat unik di dalam proses pematangan buah dan dalam bagian tanaman lainnya
3. Dalam konsentrasi yang sangat rendah dapat memberikan rangsangan pada aktivitas fisiologi
4. Sensitivitas jaringan tanaman terhadap etilen yang konsentrasinya sangat rendah yang bervariasi sesuai dengan umurnya.
Mekanisme kerja etilen dalam pemasakan buah yaitu dengan cara menambahkan etilen dari luar. Di antara sekian banyak perubahan yang disebabkan oleh etilen adalah perubahan permeabilitas membran sel sehingga mengakibatkan penghancuran klorofil ke dalam kloroplas oleh enzim. Dengan terombaknya klorofil pigmen dalam sel-sel buah tidak terlindungi sehingga buah menampakkan warna masaknya (Sumarjono, 1981).

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa konsentrasi etilen yang cepat untuk pemasakan buah adalah 900 ppm. Semakin tinggi konsentrasi etilen, semakin cepat proses pemasakan buah.

Daftar Referensi
Abidin, Z. 1985. Dasar-Dasar Pengetahuan Tentang Zat Pengatur Tumbuh. Angkasa, Bandung.

Anderson J. W & J. Beardall, 1991. Molecular Activities of Plant Cell An Introduction to Plant Biochemistry, Oxford, Blackwell Scientific Publication : 384.

Fantastico. 1986. Fisiologi Pasca Panen. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

Kusumo, S. 1984. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. CV Yasaguna, Jakarta.

Miller, E.C. 1938. Plant Physiology. McGraw Hill Book Company Inc., New York

Nogge, G. R. and G. J. Fritz. 1989. Plant Physiology. Prentice Hall Inc, New Delhi.

Purba, M. 1996. Ilmu Kimia. Erlangga, Jakarta.

Soemarjono, H. 1981. Masalah Jenis Tanaman Buah. CV. Sinar Biru, Bogor

Wereing, D.F and I. D.J. Phillips. 1970. The Control of Growth and Differentation in Plants. Pergamon Press, New York.

Wilkins, M. B. 1969. Physiology of Plant Growth and Development. McGraw Hill Publishing Company Limited, England.

Pengaruh Zat Penghambat Tumbuh (Paklobutrazol) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays).

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
Acara praktikum : Pengaruh Zat Penghambat Tumbuh (Paklobutrazol) Terhadap Pertumbuhan Tanaman Jagung (Zea mays).
Tujuan : Untuk mengetahui pengaruh zat penghambat tumbuh terhadap pertumbuhan tanaman Jagung.

B. Pembahasan
Berdasarkan hasil praktikum, penyemprotan ZPT dilakukan sebanyak 10 kali pada awal perlakuan. Penanaman jagung dilakukan pada media tanam berupa 1 polibag yang berisi 2 tanaman jagung. Pengamatan meliputi yang dilakukan meliputi panjang tanaman dan diameter batang jagung. Hasil analisis data menunjukkan bahwa tinggi batang dan diameter batang tidak dipengaruhi oleh perlakuan. Tinggi tanaman dan diameter batang dari semua perlakuan relatif sama (Tabel 1). Hasil penelitian ini diperoleh bahwa, tanaman jagung yang diperlakukan dengan pemberian paklobutrazol dengan berbagai konsentrasi ternyata tinggi tanaman dan diameter batang berbeda. Tinggi tanaman berkisar antara 1,3 cm – 1,6 cm, sedangkan diameter batangnya berkisar antara 1,1 cm – 1,3 cm. berdasarkan Gardner et al., (1985), pemberian ZPT berpengaruh terhadap pengoptimalan pertumbuhan tanaman.
Prinsip untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas tanaman baik dari segi hasil maupun keragaan pertumbuhannya maka secara teknik agronomi dapat di manipulasi. Manipulasi tersebut antara lain dengan pemberian ZPT. Pemberian ZPT membantu pertumbuhan tanaman lebih optimal. Gardner et al., (1985), menyatakan bahwa yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman antara lain adalah zat pengatur pertumbuhan, cahaya dan ketersediaan hara yang optimal. Pemberian penghambat tumbuh mempengaruhi fisiologi dari tanaman yaitu menghambat elongasi sel pada sub apikal meristem, memperpendek ruas tanaman, mempertebal batang, mencegah kerebahan, menghambat etiolasi, mempertinggi perakaran stek, menghambat senescence, memperpanjang masa simpan, meningkatkan perkecambahan dan pertunasan, meningkatkan pembuahan. Hasil penelitian memberikan tinggi tanaman dan diameter batang yang tidak berbeda tersebut kemungkinan disebabkan frekuensi pemberian ZPT yang kurang optimal karena hanya diaplikasikan satu kali sehingga masih belum menampakan hasil yang nyata.
Paklobutrazol merupakan suatu zat perlambat biosintesa giberelin sehingga kandungan GA-nya menjadi rendah dan mendorong terbentuknya umbi (Samanhudi et al., 2007). Paklobutrazol berperan sebagai zat perlambat tumbuh yang mengakibatkan bagian–bagian tanaman akan mengecil dan dapat merangsang tumbuhnya bunga. Pemberian Paklobutrazol dengan dosis yang sesuai terbukti dapat meningkatkan produksi bunga dan buah dari tanaman (Herlina et al., 2001). Selain itu pemberian paklobutrazol menyebabkan laju pembelahan dan pemanjangan sel menjadi lambat dan menyebabkan keracunan pada sel (Samanhudi et al., 2007). Berdasarkan hasil penelitian pemberian paklobutrazol ternyata tidak memberikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman jagung. Keadaan tersebut kemungkinan dosis yang diberikan masih belum optimal sehingga masih belum menunjukkan efeknya.
Pengaruh konsentrasi pada proses pembentukan umbi tanaman kentang memberikan pengaruh yang nyata. Penambahan jumlah paklobutrazol menyebabkan jumlah baku pada tinggi planet terhambat. Penambahan konsentrasi paklobutrazol 0,2 ppm mengakibatkan penurunan jumlah baku 3-5 kali dari awalnya (Samanhudi et al., 2007).


Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka didapat kesimpulan bahwa paklobutrazol dengan konsentrasi 25 ppm memberikan pertumbuhan yang terhambat. Semakin tinggi konsentrasi maka semakin menghambat pertumbuhan, sedangkan konsentrasi paklobutrazol yang rendah akan berdampak pada pertumbuhan yang meningkat.



Daftar Referensi
Samanhudi. Yunus A. Sakya A.T. Hartati R. 2007. Pengaruh Paklobutrazol dalam Pembentukan Umbi Kentang secara in vitro. Fakultas Pertanian UNS.

Gardner P.G., R.B. Pearee and T.L. Mitchell. 1985. Physiology of crop plants. The Iowa State University Press. U.S.A 428 p.

Herlina D, K.D. Hatmini dan M.F. Masyhudi. 2001. Peran paklobutrazol dan pupuk KNO3 terhadap induksi pembungaan melati. J. Sainteks Edisi Khusus Oktober 21. p : 189- 200.

ZPT sebagai herbisida

PERANAN ZAT PENGATUR TUMBUH SEBAGAI HERBISIDA



B. Pembahasan
Berdasarkan data yang diperoleh jumlah daun gulma yang rontok lebih cepat adalah gulma dengan konsentrasi 1600 ppm. Hal ini sesuai dengan pernyataan Moenandir (1990), bahwa herbisida dengan bahan aktif 2,4-D akan menghambat pertumbuhan gulma dengan mempercepat respirasi. Hal ini menyebabkan adanya ke dua bahan aktif dapat mempercepat kematian gulma. Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan. Penambahan konsentrasi herbisida mampu mempercepat proses kematian gulma. Herbisida 2,4-D bersifat sistemik dalam menghambat gulma, tetapi kerja herbisida ikut menghambat pertumbuhan padi (Sofnie et al., 2000).
Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan pengganggu yang menyebabkan penurunan jumlah gulma. Herbisida digunakan sebagai salah satu sarana pengendalian gulma. Herbisida bekerja dengan mengganggu proses anabolisme senyawa penting seperti pati, asam amino melalui kompetisi dengan senyawa yang normal dalam proses tersebut. Herbisida menjadi kompetitor karena memiliki struktur yang mirip dan menjadi kosubstrat yang dikenali oleh enzim yang menjadi sasarannya (Anonymous, 2010).
Menurut aplikasinya herbisida terbagi menjadi dua tipe yaitu herbisida pratumbuh (preemergence herbicide) dan herbisida pascatumbuh (postemergence herbicide). Herbisida pratumbuh disebarkan pada lahan setelah diolah namun sebelum benih disebarkan atau segera setelah benih ditebar. Biasanya herbisida jenis ini bersifat nonselektif, yang berarti membunuh semua tumbuhan yang ada. Herbisida pascatumbuh diberikan setelah benih memunculkan daun petamanya. Herbisida jenis ini bersifat selektif memberantas tanaman pengganggu dan bersifat tidak mengganggu tumbuhan pokoknya (Anonymous, 2010).
Macam herbisida yang biasa digunakan untuk menghambat tanaman adalah herbisida diuron dan paraquat. Herbisida Diuron 3-(3,4-Dichlorophenil)-1 dimethylurea merupakan salah satu golongan urea yang banyak digunakan untuk mengendalikan berbagai macam gulma. Herbisida ini mampu mengendalikan gulma rumput berdaun lebar dan teki baik semusim maupun tahunan. Umumnya diaplikasikan secara pra tanam dan pra tumbuh (Ashton dan Craft, 1981). Herbisida paraquat (1,1 dimethyl-4,4-bipiridinium) merupakan salah satu herbisida kontak nonselektif yang dapat diberikan secara pra tanam dan pra tumbuh. Herbisida ini dapat terikat kuat pada komponen tanah setelah aplikasi dan dapat membunuh biji gulma yang sedang berkecambah apabila kontak dengan herbisida ini (Ashton dan Craft, 1981).
Herbisida 2,4-D atau 2,4- dikloro fenoksi asam asetat merupakan salah satu herbisida untuk pembasmi gulma yang efektif untuk jenis gulma yang berdaun lebar. Gulma yang mampu dibasmi misalnya Limnocharis flava, Monochoria vaginalis, salvinia natans, Cyperus difformis. Fimristys miliaceae, Scirpus juncoides di lahan sawah. Herbisida 2,4-D bersifat sistemik, berbentuk kristal putih, tidak berbau dan mempunyai titik lebur 140,5 °C (Sofnie et al., 2000).
Pemakaian campuran herbisida dapat meningkatkan spektrum pengendalian dosis herbisida. Campuran herbisisda dengan bahan aktif glifosat akan mematikan gulma dengan jalan menghambat jalur biosintesa asam amino. Herbisida dengan bahan aktif 2,4-D akan menghambat pertumbuhan gulma dengan mempercepat respirasi, hal ini menyebabkan adanya ke dua bahan aktif dapat mempercepat kematian gulma. Cara kerja lain adalah dengan mengganggu keseimbangan produksi bahan-bahan kimia yang diperlukan tumbuhan (Moenandir, 1990).
Rumus bangun herbisida 2,4-D :

Herbisida klomazon merupakan herbisida sistemik diberikan pre emergence pada permukaan tanah. Herbisida ini akan diserap oleh akar tanaman dan ditranslokasikan ke atas dan tinggal di daun. Herbisida ini memberikan efek penghambat pembentukan karotenoid, sehingga menyebabkan pemutihan kloroplas. Herbisida klomazon dapat digunakan untuk mengendalikan gulma golongan teki dan gulma daun lebar, sedangkan metribuzin dapat digunakan untuk mengendalikan gulma golongan rumput dan daun lebar. Cara kerja herbisida mertibuzin adalah mengganggu aktivitas fotosintesis (Sastroutomo, 1990).
Gulma adalah tumbuhan penggangu yang bernilai negatif apabila tumbuhan tersebut merugikan manusia baik secara langsung maupun tidak langsung dan sebaliknya tumbuhan dikatakan memiliki nilai positif apabila mempunyai daya guna manusia. Salain itu gulma dapat diartikan sebagai tumbuhan yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya dan tidak dikehendaki serta mempunyai nilai negatif. Gulma selalu terdapat pada setiap pertanaman dan tumbuh bebas apabila dilakukan pengendalian. Secara fisik gulma bersaing dengan tumbuhan dalam hal pemanfaatan ruang, cahaya, dan secara kimiawi dalam hal pemanfaatan air, nutrisi, gas-gas penting dalam allelopati. Persaingan dapat berlangsung bila komponen yang dibutuhkan oleh gulama atau tanaman budidaya berada pada jumlah yang terbatas, jaraknya berdekatan dan bersama-sama dibutuhkan (Sukman, 2001).
Berdasarkan Noor (1997), cara kerja herbisida di kelompokkan menjadi dua yaitu :
a. herbisida kontak
• mampu membasmi gulma yang terkena semprotan saja terutama bagian yang berhijau daun dan aktif berfotosintesis.
• Keistimewaan dari herbisida kontak adalah membasmi gulma secara cepat, 2 -3 jam setelah disemprot gulma sudah layu dan 2-3 hari kemudian mati. Hal ini menyebabkan bermanfaat jika waktu penanaman harus segera dilakukan. Kelemahannya gulma akan tumbuh kembali secara cepat sekitar 2 minggu kemudian. Contoh herbisida kontak adalah paraquat.
b. herbisida sistemik.
• Cara kerja herbisida ini di alirkan ke dalam jaringan tanaman gulma dan mematikan jaringan sasarannya seperti daun, titik tumbuh, tunas sampai ke perakarannya. Keistimewaannya, dapat mematikan tunas - tunas yang ada dalam tanah, sehingga menghambat pertumbuhan gulma tersebut. Contoh herbisida sistemik adalah glifosat, sulfosat.
• Beberapa faktor yang mempengaruhi efektivitas herbisida sistemik, yaitu:
- Gulma harus dalam masa pertumbuhan aktif
- Cuaca cerah waktu menyemprot
- Tidak menyemprot menjelang hujan
- Keringkan areal yang akan disemprot
- Gunakan air bersih sebagai bahan pelarut
- Boleh dicampur dengan herbisida 2,4D amina atau dengan herbisida Metsulfuron.




Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya, maka dapat disimpulkan :
1. Herbisida adalah senyawa atau material yang disebarkan pada lahan pertanian untuk menekan atau memberantas tumbuhan pengganggu yang menyebabkan penurunan jumlah gulma.
2. Gulma adalah tumbuhan yang tumbuh tidak sesuai dengan tempatnya dan tidak dikehendaki serta mempunyai nilai negatif.
3. Macam herbisida yang biasa digunakan untuk menghambat tanaman adalah herbisida diuron dan paraquat.


Daftar Referensi

Ashton dan Craft. 1981. Mode of Action of Herbicides. John Willey and Son, New York.

Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV. Raajawali, Jakarta.

Moenandir, J. 1990. Pengantar Ilmu Pengendalian Gulma. Rajawali Press. Jakarta.

Noor, E.S. 1997. Pengendalian Gulma di Lahan Pasang Surut. Proyek Penelitian Pengembangan Pertanian Rawa Terpadu-ISDP Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. PT. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta.

Sofnie M. Mulyadi. Idawati. 2000. Translokasi herbisida 2,4-D-14C pada Tanaman Gulma dan Padi pada Sistem Persawahan.

Sukman yakub, yernelis. 2001. Gulma dan teknik pengendaliannya. Fakultas pertanian universitas sriwijaya, palembang.

Pengaruh Giberelin

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
Acara praktikum : Pengaruh Giberelin terhadap perpanjangan batang.
Tujuan : Untuk mengetahui Giberelin yang efektif dalam merangsang pertumbuhan tanaman, khususnya terhadap perpanjangan batang.








B. Pembahasan
Berdasarkan data hasil praktikum pertumbuhan batang jagung paling cepat dengan konsentrasi 0 ppm, sedangkan pada tanaman kedelai dengan konsentrasi15 ppm. Data yang diperoleh pada tanaman jagung dan tanaman kedelai tidak sesuai dengan pustaka yang diungkapkan Fernie and Willmitzer (2001), bahwa giberelin berfungsi dalam proses pemanjangan batang. Pemberian giberelin dengan konsentrasi yang semakin tinggi akan mempercepat proses pemanjangan batang.
Giberelin merupakan hormon pertumbuhan yang terdapat pada organ-organ tanaman yaitu pada akar, batang, tunas, daun, bintil akar, buah, dan jaringan halus. Giberelin dapat merangsang pertumbuhan batang dan juga dapat meningkatkan besarnya daun pada beberapa jenis tumbuhan. Giberelin dapat pula menggantikan perlakuan suhu rendah (20-40C) pada tanaman yang membutuhkan perlakuan tersebut bagi pembungaan (Heddy, 1986). Giberelin mempercepat munculnya tunas di permukaan tanah. Hal ini disebabkan karena GA3 memacu aktivitas enzim–enzim hidrolitik khususnya α amilase yang menghidrolisis cadangan pati sehingga tersedia nutrisi yang cukup untuk tunas supaya bisa tumbuh lebih cepat (Jacobsen et al., 1995).
Efek yang ditimbulkan oleh giberelin umumnya bertitik berat pada pola pertumbuhan normal. Giberelin alami ada lebih dari 30 macam, semuanya memiliki konfigurasi kimia yang khusus tetapi yang paling sering digunakan adalah Asam giberelat (GA3) dan efek fisiologi giberelin kebanyakan dianggap hanya dari senyawa ini. Giberelin bekerja pada gen dengan menyebabkan aktivasi gen-gen tertentu. Gen-gen yang diaktifkan akan membentuk enzim-enzim baru yang menyebabkan terjadinya perubahan morphogenetik (penampilan/kenampakan tanaman) (Rukmana, 1997).
Beberapa fungsi giberelin pada tumbuhan menurut Fernie dan Willmitzer, (2001) sebagai berikut:
1. mematahkan dormansi atau hambatan pertumbuhan tanaman sehingga
tanaman dapat tumbuh normal (tidak kerdil) dengan cara mempercepat proses
pembelahan sel.
2. meningkatkan pembungaan.
3. memacu proses perkecambahan biji. Salah satu efek giberelin adalah mendorong terjadinya sintesis enzim dalam biji seperti amilase, protease dan lipase dimana enzim tersebut akan merombak dinding sel endosperm biji dan menghidrolisis pati dan protein yang akan memberikan energi bagi perkembangan embrio diantaranya adalah radikula yang akan mendobrak endosperm, kulit biji atau kulit buah yang membatas pertumbuhan/perkecambahan biji sehingga biji berkecambah.
4. pemanjangan sel.

Kesimpulan
1. Giberelin merangsang pertumbuhan batang dan juga dapat meningkatkan besarnya daun pada beberapa jenis tumbuhan.
2. GA3 memacu aktivitas enzim–enzim hidrolitik khususnya α amilase yang menghidrolisis cadangan pati sehingga tersedia nutrisi yang cukup untuk tunas supaya bisa tumbuh lebih cepat.


Daftar Referensi
Fernie, A.R. and L. Willmitzer. 2001. Molecular and biochemical triggers of potato tuber development. Plant Physiology 127: 1459-1465.

Heddy, S. 1986. Hormon Tumbuhan. Rajawali Press, Jakarta.

Jacobsen, J.V., F. Gubler and P.M. Chandler. 1995. Gibberellin action in germinated cereal grains. In 'Plant hormones physiology, biochemistry and molecular biology'. (Ed PJ Davies) pp. 246-271. (Kluwer Academic Publisher: Dordrecht).

Rukmana, R. 1997. Kentang Budidaya dan Pascapanen. Penerbit Kanisius Yogyakarta.
LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI TUMBUHAN
Acara praktikum :Dominansi apikal
Tujuan :Untuk mengetahui pengaruh zat pengatur tumbuh IAA terhadap pertumbuhan tunas lateral.


A. Pembahasan
Berdasarkan hasil pengamatan diketahui bahwa terjadi perbedaan waktu tumbuh antara tanaman yang diberi ZPT IAA dengan ZPT IBA. Tanaman yang diberi perlakuan IAA dengan konsentrasi 0 ppm, 1 ppm dan 2 ppm tidak tumbuh, sedangkan IAA dengan konsentrasi 1,5 ppm mulai tumbuh pada hari ke-6. Tanaman yang diberi perlakuan IBA dengan konsentrasi 0 ppm mulai tumbuh pada hari ke-6, IBA dengan konsentrasi 1 ppm mulai tumbuh pada hari ke-9, IBA dengan konsentrasi 1,5 ppm mulai tumbuh pada hari ke-4, sedangkan IBA dengan konsentrasi 2 ppm tidak tumbuh. Dominasi apikal merupakan fenomena pertumbuhan ujung batang yang mendominasi pertumbuhan bagian lain sehingga pembentukan cabang lateral akan terhambat (Darmanti, 2008).
Sebagian besar tanaman apabila pertumbuhan batang telah mencukupi maka secara alami cabang lateral akan tumbuh pada nodus bagian bawah yang cukup jauh dari ujung batang. Proses ini dapat disebabkan karena semakin jauh dari ujung batang pengaruh dominansi apikal semakin berkurang. Dominansi apikal dan pembentukan cabang lateral ini dipengaruhi oleh keseimbangan konsentrasi hormon (Khrishnamoorthy, 1981; Taiz and Zeiger, 1998 dan Hopkins, 1995). Perlakuan girdling, sintesis auksin di ujung batang tetap berlangsung tetapi transportnya melalui floem dihambat sehingga konsentrasi auksin di nodus atau ketiak daun yang terdapat di bawah girdl semakin rendah. Dengan turunnya auksin di ketiak daun akan memacu pembentukan hormone sitokinin (Taiz dan Zeiger, 1998).
Prinsip dari perlakuan untuk mengatur keseimbangan hormon pada ketiak daun di bawah ujung batang dapat dilakukan dengan girlding (Taiz and Zeiger, 1998 dan Hopkins, 1995). Girdling adalah peristiwa penghilangan floem secara melingkar pada batang (Hopkins, 1995). Mekanisme penghilangan floem dapat dilakukan dengan melilitkan kawat atau tali. Teori “Direct Theory of Auksin” yang menerangkan tentang fenomena dominansi apikal menerangkan bahwa auksin yang disintesis pada ujung batang akan ditransport secara basipetal ke bagian batang yang lebih bawah. Hal ini menyebabakan terakumulasinya auksin pada ketiak daun dibawahnya yang akan menginisiasi pembentukan tunas lateral pada ketiak daun terhambat atau terjadi dormansi tunas lateral. Inisiasi pembentukan tunas lateral mensyaratkan konsentrasi auksin yang lebih rendah dibandingkan konsentrasi auksin optimal untuk pertumbuhan memanjang batang. Teori ”Nutritive Diversion Theory “ menerangkan bahwa arah distribusi nutrisi dan metabolit dikontrol oleh auksin. Sintesis auksin terjadi di apikal batang dan daun-daun muda yang sedang tumbuh. Auksin tersebut kemudian ditransport secara basipetal ke bagian bawah. Meskipun demikian, konsentrasi auksin pada bagian apikal tetap lebih tinggi dibandingkan dengan bagian di bawah apikal batang. Nutrisi atau metabolit lebih banyak ditransport ke bagian tanaman yang mempunyai konsentrasi auksin tinggi, sehingga nutrisi dan metabolit akan lebih banyak ditransport ke apikal batang sehingga pertumbuhan apikal batang akan menekan pertumbuhan cabang lateral (Khrishnamoorthy, 1981).
Menurut Sato dan Mori (2001), turunnya konsenrasi auksin akan mensintesis hormone sitokinin. Tanaman kontrol tidak menunjukkan pertumbuhan tunas lateral. Hal ini disebabkan karena pada umur tersebut pertumbuhan cabang lateral tertekan oleh pertumbuhan apikal batang. Yang berarti bahwa dominansi apikal masih berpengaruh kuat sepanjang batang atau cabang yang tidak diberi perlakukan girdling dan tanaman control. Jaringan tumbuhan mengandung lebih dari satu macam hormon, hormon-hormon tersebut mungkin mempunyai efek yang sama atau tidak sama. Efek hormon tersebut bisa komulatif, sinergis atau antagonis. Keseimbangan di antara hormon tersebut penting untuk perkembangan tumbuhan yang normal. Pengaruh fitohormon yang sama dapat berbeda pada tanaman yang berbeda, pada musim yang berbeda, juga tergantung pada interaksi dengan metabolit yang lain dan sensitifitas jaringan terhadap fitohormon yang bersangkutan (Lyndon 1990 ; Devies, 1995).
Peristiwa dominansi apikal berkaitan dengan peranan berbagai jenis hormon dan interaksi antara hormon–hormon tersebut. Heddy (1989), berpendapat bahwa auksin, sitokinin, etilen dan ABA perperan dalam peristiwa dominansi apikal ini. Khrishnamoorthy, 1981; Taiz dan Zeiger, 1998 dan Hopkins, 1995 menerangkan fenomena ini dengan teori keseimbangan hormon auksin dengan sitokinin (direct theory of auksin). Auksin disintesis pada bagian tanaman yang sedang aktif mengalami pertumbuhan antara lain di bagian apikal batang. Secara basipetal, auksin tersebut ditransport ke bagian bawah secara terus menerus sehingga konsentrasi auksin pada bagian nodus (ketiak daun) cukup tinggi. Konsentrasi auksin yang cukup tinggi ini akan menghambat aktifitas enzim isopentenil transferase yang merupakan katalisator pembentukan sitokinin, sehingga sintesis sitokinin dihambat. Keseimbangan konsentrasi sitokinin yang rendah dan auksin yang tinggi ini akan menghambat diferansiasi sel pada nodus untuk membentuk primordia cabang. Selain itu, konsentrasi IAA yang tinggi dan terhambatnya aktifitas enzim isopentenil transferase di nodus secara tidak langsung akan berakibat memacu sintesis ABA yang akan menghambat pertumbuhan cabang lateral.
Batang yang diberi perlakuan, dua cabang lateral tidak tumbuh dibawah girdl setelah 2 bulan perlakuan. Hal ini disebabkan karena pada saat itu pengaruh dominansi apikal pada dua nodus dibawah perlakuan girdl masih ada. Girdl menyebabkan terhambatnya transport auksin dari meristem apikal ke bawah. Hal ini sesuai dengan pendapat Hoad (1995), bahwa transport auksin melalui floem, sedang menurut Salisbury dan Ross (1991) transport auksin melalui sel-sel parenkim yang mengelilingi floem. Menurut direct theory of auksin, hal ini kemudian akan menyebabkan konsentrasi auksin di bagian nodus yang berada di bawah apikal batang makin lama makin berkurang. Rendahnya konsentrasi auksin pada nodus ini akan memacu aktfiitas enzim isopentenil transferase yang merupakan katalisator pada sintesis sitokinin, sehingga sintesis sitokinin dipacu (Sato dan Mori, 2001).
Keseimbangan konsentrasi sitokinin tinggi dan auksin rendah ini akan memacu terjadinya pembelahan dan diferensiasi sel pada nodus untuk membentuk primordia cabang lateral. Lebih lanjut Khrishnamoorthy (1981), bahwa pada peristiwa pematahan dominansi apikal seperti pada perlakuan girdling ini sitokinin berpengaruh memacu diferensiasi berkas pengangkut pada primordial cabang, sehingga memfasilitasi transport air dan nutrisi dari batang ke primordium dan memacu pembentukan cabang lateral. Selanjutnya primordium cabang yang baru terbentuk ini karena merupakan jaringan meristem, maka kemudian akan mensintesis auksin sendiri untuk pertumbuhannya menjadi cabang atau untuk pertumbuhan cabang itu sendiri. Meskipun perlakuan girdling selain menghambat transport auksin juga menghambat transport fotosintat dari daun yang ada di atas girdl sebagai source ke bawah girdl, tetapi terjadi pembentukan dan pertumbuhan cabang lateral. Kondisi ini disebabkan karena pada perlakuan girdling ini ketersediaan hara tercukupi dengan dilakukannya pemupukan. Hal ini sesuai dengan pendapat Wareing dan Phillips (1981), yang menyatakan bahwa terhambatnya pertumbuhan cabang lateral menurut “Nutrtive Diversion Theory “disebabkan nutrisi lebih banyak ditransport ke apikal batang dibanding ke tunas lateral hanya berlaku pada kondisi defisiensi hara, sedang pada kondisi hara tercukupi kekurangan nutrisi pada nodus tidak menghambat pembentukan cabang lateral.
Heddy (1989), menyatakan pengaruh fisiologi auksin pada tumbuhan meliputi:
1. Pemanjangan sel
Pada koleoptil batang, jika terdapat jumlah auksin yang optimal dapat mempengaruhi pemanjangan sel.
2. Tunas ketiak
IAA yang telah dibentuk di meristem apikal ditransport ke bagiab bawah tumbuhan dapat menghambat pekembangan tunas ketiak. Namun bila meristem apikal dipotong maka akan meningkatkan perkembangan tunas lateral.
3. Absisi daun
Daun dapat terpisah dengan batang bila sel pada absisi daun mengalami perubahan kimia dan fisik
4. Aktifitas kambium
Auksin merangsang pembelahan sel kambium
5. Tumbuh akar
IAA dapat menghambat pemanjangan akar bila tidak dalam keadaan optimal.

Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa IBA pada konsentrasi 1,5 ppm lebih efektif dibandingkan dengan IAA.


Daftar Referensi
Darmanti S. 2008. Pembentukan Cabang Lateral Jarak Pagar (Jatropha curcas) Setelah Perlakuan Girdling. Laboratorium Biologi Struktur dan Fungsi Tumbuhan, Jurusan Biologi FMIPA Undip.

Davies, J. P., (1995), Plant Hoemones : Their Nature, Occurrence and Function. Dalam P.J. Davies (edt) : Plant Hormones : Physiology, Biochemestry and Molecullar Biology, Kluwer Academic Publisher, Boston.

Heddy, S. 1989. Hormon Tumbuhan. CV. Raajawali, Jakarta.

Hoad, G. V (1995), Transport of Hormones in floem of Higher Plant, Plant Growth regulation, 16: 173-337.

Hopkins, W. G. 1995. Introduction to Plant Physiology. John Wiley & Son. Inc. USA.

Krishnamorthy, H. N. 1981. Plant Growth Substance. Tata McGraw Hill Publishing Company Limited, New Delhi.

Salisbury, F. B dan C. W. Ross. 1985. Plant Physiology Third Edition. Wadsworth Publishing Company, California.

Sato, S.S and H. Mori, (2001), Control Outgrowth and Dormancy In Axilary Bud. http://www.plantphysiol.org.

Taiz L. and E. Zieger, (1998), Plant Physiology, Sinauer Associates, Inc., Publisher, Sunderland, Massachusetts.

Wareing, P.F. dan Philips, I. D.J. 1981. The Control of Growth and Differentiation in Plant. Pergamon Press, Oxford.

Jumat, 18 Maret 2011

REFLEKS SPINAL PADA KATAK


HASIL DAN PEMBAHASAN
B. Pembahasan
Sistem saraf adalah suatu sistem organ yang terdiri dari sel-sel saraf atau neuron. Sistem saraf terdiri atas sistem saraf pusat yang meliputi otak dan batang spinal, dan sistem saraf perifer yang meliputi saraf kranial, saraf spinal, dan trunkus simpatikus. Kedua sistem ini bekerja saling menunjang. Sistem saraf pusat berguna sebagai pusat koordinasi untuk aktivitas-aktivitas yang harus dilaksanakan. Sedangkan sistem saraf perifer berfungsi memberikan informasi kepada sistem saraf pusat tentang adanya stimulus yang menyebabkan otot dan kelenjar melakukan respon (Johnson, 1984).
Hasil percobaan refleks spinal pada katak setelah dilakukan perusakan otak menunjukan bahwa kaki katak dapat membalikan tubuhnya, kemudian jika kaki belakang dan kaki depan katak tersebut dipijat dengan pinset maka kakinya akan ditarik atau penanggapi respon, gerakan menarik kaki tersebut disebut reflek melarikan diri. Pemijatan lebih kuat pada kaki akan menyebabkan reflek menjalar ke kaki sebelah dan mungkin juga kaki depan. Gerak reflek juga terjadi ketika kaki katak tersebut dimasukan ke dalam larutan asam sulfat, gerak tersebut juga disebut reflek melarikan diri, kemudian terlihat pula gerakan menghapuskan asamnya yang disebut dengan reflek menghapuskan. Perusakkan ¼ dan ½ tulang belakang juga menghasilkan hasil yang positif, yaitu menunjukan kaki katak dapat membalikan tubuhnya, kemudian jika kaki belakang dan kaki depan katak tersebut dipijat dengan pinset maka kakinya akan ditarik kembali.pemijatan lebih kuat pada kaki katak juga akan menyebabakan refleks menjalar ke kaki sebelahnya dan mungkin juga kaki depan. Gerakan refleks terjadi ketika kaki katak tersebut dimasukan ke dalam larutan asam sulfat, gerak tersebut disebut gerak melarikan diri, kemudian terlihat gerakan menghapus asamnya.
Ketika kaki katak dicelupkan ke dalam larutan H2SO4, katak langsung menarik kakinya dan terlihat seperti melakukan gerakan menghapus larutan yang menempel di kaki, hal ini terjadi karena larutan H2SO4 memberikan rangsangan panas yang membakar kulit. Refleks yang diberikan katak saat perlakuan tersebut sesuai dengan pernyataan Ville et al. (1988), yaitu respon menarik kaki setelah dicelupkan ke dalam larutan H2SO4 melibatkan sejumlah otot yang bekerja secara terpadu dan merupakan suatu refleks murni. Menurut Frandson (1992), katak akan menarik kakinya apabila diberi stimulus seperti masuknya rangsangan asam, misalnya H2SO4.
Perusakan ¾ bagian tulang belakang menunjukkan respon negatif pada gerakan membalikan tubuh, penarikan kaki belakang juga menunjukan hasil yang negatif sedangkan pada penarikan kaki depan dan pencelupan H2SO4 menunjukan respon positif. Pada perusakan seluruh tulang belakang menunjukan respon penarikan kaki belakang, sedangkan untuk gerakan membalikan tubuh, penarikan kaki depan dan pencelupan H2SO4 menunjukan respon yang negatif. Hal ini menunjukan bahwa saraf-saraf yang berhubungan dengan saraf spinalis rusak semuanya sehingga tidak ada stimulus yang dapat direspon oleh katak. Menurut Pearce (1989), perusakan pada sumsum tulang belakang ternyata juga merusak tali-tali spinal sebagai jalur-jalur saraf. Tali-tali spinal terdiri dari saraf sensori dan motori, oleh karena itu bila saraf tersebut rusak maka respon terhadap stimulus tidak akan terjadi. Menurut Trueb dan Duellman (1986), menyatakan bahwa perusakan ¼ dari sumsum tulang belakang tidak merusak semua sistem saraf yang menyebabkan reflek spinal, jadi masih ada respon positifnya, demikian juga untuk perusakan ½ dan ¾ sumsum tulang belakang. Semakin lebar kerusakan sumsum tulang belakang, responnya akan semakin melemah.
Refleks merupakan respon organ efektor atau kelenjar yang bersifat spontan atau otomatis. Menurut Walter dan Stayles (1990) yaitu refleks penarikan disebut juga respon, untuk melaksanakan hal tersebut terjadi reaksi-reaksi sebagai berikut, stimulus dideteksi oleh reseptor kulit, hal ini mengawali implus-implus saraf pada neuron sensori yang berasal dari reseptor kulit menuju ke tali spinal melalui afektor. Implus ini memasuki tali spinal dan mengawali implus pada neuron motor yang sesuai dan bila impuls ini mencapai antara neuron motor dan otot maka dirangsang untuk kontraksi. Menurut Start dan Belmot (1991), refleks merupakan respon halus otomatis yang baku terhadap suatu rangsangan dan hanya tergantung pada hubungan anatomi dari hewan yang terlibat. Refleks yang divariasi telah ada sejak lahir, sedangkan refleks bersyarat diperoleh kemudian sebagai hasil dari pengalaman. Refleks merupakan sebagian kecil dari perilaku hewan tingkat tinggi, tetapi memegang peranan penting dalam perilaku hewan tingkat tinggi. Refleks biasanya menghasilkan respon jika bagian distal sumsum tulang belakang memiliki bagian yang lengkap dan mengisolasi ke bagian pusat yang lebih tinggi. Tetapi kekuatan dan jangka waktu menunjukan keadaan sifat involuntari yang meningkat bersama dengan waktu (Madhusoodanan, 2007).
Menurut Kimball (1988), rusaknya otak menyebabkan hubungan antara alat-alat vastibuler dengan sumsum tulang belakang hilang, sehingga katak tersebut tidak dapat membalikan tubuhnya ketika ditelentangkan, sedangkan refleks dari kaki depan dan belakang menunjukkan sistem saraf perifer yang mempengaruhi ekstrimitas masih bekerja. Reseptor menerima rangsang yang berupa rangsang mekanis (pijatan) lalu diubah menjadi potensial aksi, sehingga timbul respon. Demikian juga refleks kaki ketika dimasukan ke dalam H2SO4. Refleks pada eksterimitas dipengaruhi oleh sumsum tulang belakang dan bukan dari otak.
Menurut Ville et al. (1988), sejumlah refleks melibatkan hubungan antara banyak interneuron dalam sum-sum tulang belakang. Sumsum tulang belakang tidak hanya berfungsi dalam menyalurkan impuls dari dan ke otak tetapi juga berperan penting dalam memadukan gerak refleks. Mekanisme gerak refleks yaitu:
Stimulus reseptor neuro afferen



Respon efektor neuro medulla
efferent spinalis

Mekanisme gerak refleks pada katak menurut Storer (1970), yaitu:
1. Adanya reseptor rangsangan dari luar.
2. Induksi nervous impuls atau badan sel saraf ke tulang belakang.
3. Adanya sinapsis.
4. Terjadi penerimaan rangsangan oleh neuron motorik, terjadilah reflek oleh efektor sebagai respon.
Sistem saraf sangat penting pada hewan tingkat tinggi yaitu sebagai sistem komunikasi yang kompleks dan cepat. Komunikasi intrasel ditengahi oleh impuls saraf, impuls tersebut dapat berupa gelembung-gelembung berjalan yang berbentuk arus ion. Transmisi sinyal antara neuron-neuron dan antara neuron otot seringkali di mediasi secara kimiawi oleh neurotransmitter (Romer, 1986). Menurut Gordon (1979), menyatakan bahwa sistem saraf vertebrata memiliki peranan vital, yaitu :
1. Menerima stimulus dari lingkungan luar dan mengkoordinir respon.
2. Mengatur agar kerja semua sistem dalam tubuh dapat bekeja sesuai fungsinya
3. Tempat ingatan dan kecerdasan, pada vertebrata tingkat tinggi.
Faktor-faktor lain yang mempengaruhi refleks spinal antara lain :
1. Ada tidaknya rangsangan atau stimulus
Rangsangan dari luar contohnya adalah derivat dari temperatur, kelembaban, sinar, tekanan, zat-zat dan sebagainya. Rangsangan dari dalam yaitu dari makanan, oksigen, air dan lainnya. Beberapa rangsangan langsung bereaksi pada sel atau jaringan tetapi kebanyakan hewan-hewan mempunyai kepekaan yang spesial. Somato sensori pada reflek spinal dimasukkan dalam urat spinal sampai bagian dorsal. Sensori yang masuk dari kumpulan reseptor yang berbeda memberikan pengaruh hubungan pada urat spinal sehingga terjadi reflek spinal (Richard dan Gordan, 1989).
2. Berfungsinya sumsum tulang belakang
Sumsum tulang belakang mempunyai dua fungsi penting yaitu untuk mengatur impuls dari dan ke otak dan sebagai pusat reflek, dengan adanya sumsum tulang belakang pasangan syaraf spinal dan kranial menghubungkan tiap reseptor dan effektor dalam tubuh sampai terjadi respon. Apabila sumsum tulang belakang telah rusak total maka tidak ada lagi efektor yang menunjukkan respon terhadap stimulus atau rangsang (Ville et al., 1988).




























KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Reflek spinal pada katak terjadi jika ada rangsangan baik berupa rangsangan mekanis maupun kimia.
2. Perusakan otak tidak mempengaruhi reflek spinal pada katak.
3. Kerja reflek spinal diatur oleh sumsum tulang belakang.

B. Saran

Untuk praktikum refleks spinal pada katak selanjutnya menyediakan larutan H2SO4 pada masing-masing kelompok.


































DAFTAR REFERENSI
Frandson, R. D. 1992. Anatomi dan Fisiologi Ternak. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Gordon, M. S. 1979. Animal Physiology. Mc Millan Publishing Co. Ltd, New York.

Johnson, D. R. 1984. Biology an Introduction. The Benjamin Cummings Publishing Co.Inc, New York.

Kimbal, J. W. 1988. Biologi II. Erlangga, Jakarta.

Madhusoodanan, M. G. P. 2007. Continence Issues in the Patient with Neurotrauma. Senior Consultant Surgery, Armed Forces Medical Services ‘M’ Block, Ministry of Defence, DHQ, New Delhi. Indian Journal of Neurotrauma (IJNT) 2007, Vol. 4, No. 2, pp. 75-78.

Pearce, E. 1989. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Gramedia, Jakarta.

Richard, W.H dan Gordan. 1989. Animal Physiology. Harper-Collins Publisher. New York.

Romer. 1986. The Vertebrate Body. Saunders College Publishing, USA.

Start, C dan Belmont. 1991. Biology Concept and Aplication. California Publishing, California.

Storer, T. I, W.F. Walker dan R.D. Barnes. 1970. Zoologi Umum. Erlangga, Jakarta.

Trueb, L. A dan Duellman. 1986. Biology of Amphibians. Mc Graw Hill Company, New York.

Villee, C.A,W.F. Walker dan R.D. Barnes. 1988. General Zoology. W.B. Saunders Company, Philadelphia.

Walter dan Stayles. 1990. Biology of the Vertebrates. The Mc Millan Company, New
I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang


Amphibia berasal dari kata “amphi” artinya rangkap dan “bios” artinya hidup. Jadi amphibia berarti hewan yang hidup dalam dua fase kehidupan, yaitu dari kehidupan air menuju kehidupan darat. Kedua fase strukturnya menunjukkan bahwa amphibi merupakan kelompok chordata yang pertama kali keluar dari kehidupan air. Hewan yang dapat hidup di dua habitat yang berbeda, pasti akan menjumpai dua kelompok musuh, di air dan di darat. Tetapi di waktu yang sama hewan ini juga memiliki dua kesempatan untuk melarikan diri, air dan darat.
Cara hidup katak sangat berbeda dengan ikan. Hewan ini tidak hidup di dalam perairan dalam, tetapi menggunakan sebagian besar waktunya di darat. Sebagaimana halnya dengan jenis ikan, katak tidak mempunyai leher. Kulitnya lunak dan agak berlendir. Tidak mempunyai ekor, karena menghalang-halangi gerak meloncat.
Fungsi kulit pada katak yaitu untuk melindungi tubuh dari lingkungan luar dan sebagai alat pernafasan. Untuk terjadinya pernapasan melalui kulit, kulit katak dilengkapi dengan kelenjar-kelenjar yang menghasilkan lendir agar permukaan kulit selalu basah. Bentuk kelenjar kulit pada katak seperti piala, terdapat tepat di bawah epidermis dan salurannya melalui epidermis yang bermuara di permukaan kulit.
Katak sawah (Rana cancrivora) dipilih untuk mewakili kelas amphibia karena mudah didapat, ukuran besar, dan dapat menunjukkan banyak persamaan dalam bentuk dan fungsi dengan vertebrata tinggi termasuk manusia. Susunan tubuh mudah dipelajari, cara hidup sederhana, dan mudah dipelajari. Sebagian katak sawah hidup di sawah. Badan katak bisa tumbuh mencapai 10 cm, dan dapat dikenali dengan melihat bercak-bercak coklat pada punggung dari depan ke belakang. Daging yang berwarna putih akan tampak, jika kulit dibedah (Susanto, 1989).
B. Tujuan


Praktikum ini bertujuan untuk mengetahui dan mengamati anatomi tubuh katak sawah betina (Rana cancrivora ♀).































II. KERANGKA PEMIKIRAN



Amphibia merupakan hewan yang hidup dengan bentuk kehidupan yang mula-mula di air tawar kemudian dilanjutkan di darat. Fase kehidupan di dalam air berlangsung sebelum alat reproduksi masak, keadaan ini merupakan fase larva disebut berudu. Pada kedua fase ini struktur dan fungsinya menunujukkan sifat antara pisces dan reptilia serta menunjukkan bahwa amphibia merupakan suatu kelompok chordata yang pertama kali keluar dari kehidupan dalam air. Beberapa pola menunjukkan pola baru yang disesuaikan dengan kehidupan darat, misalnya : kaki, paru-paru, nares (nostril), yang mempunyai hubungan dengan cavum oris dan alat penghidupan yang berfungsi baik dalam air maupun di darat (Jasin, 1989).
Katak sawah (Rana cancrivora) termasuk ordo Anura. Dalam ordo ini, amphibi pandai melompat. Kepala dan tubuhnya bersatu, tidak mempunyai leher dan juga tidak mempunyai ekor. Katak tidak mempunyai ekor, karena menghalang-halangi gerak meloncat. Anggota gerak depan lebih pendek dan kecil dibandingkan yang belakang. Jari-jarinya hanya ada empat buah. Jari-jari anggota belakang ada lima buah. Anggota gerak bagian belakang ini jauh lebih besar dan panjang. Otot pahanya besar dan kuat untuk meloncat. Untuk memudahkan berenang, di antara jari-jari kaki belakang terdapat selaput renang. Fertilisasinya eksternal. Larva ( berudu) dengan ekor dan sirip-sirip median. Metamorfosis nyata dan mencolok. (Mahardono,1980).
Menurut Parker and Haswell (1951), kulit katak banyak mengandung kapiler-kapiler darah dari cabang-cabang kutanea magna dari arteri kutanea. Dengan demikian, kulit katak memegang bagian penting dalam pernapasan.
Katak bernapas dengan bebagai cara. Misalnya dengan kulit tipis dan lembab juga dengan selaput mulutnya, sehingga katak sering tampak memompa udara ke mulut, dengan menggerakkan rahang bawah. Cara lain dengan paru-paru. Paru-parunya mirip suatu percabangan usus belaka. Bentuknya panjang, tipis, dan meruncing ke ujung. Karena dari lubang hidung ada saluran yang langsung ke rongga mulut, maka katak sawah (Rana cancrivora) tidak mempunyai farink, tetapi langsung ke laring (Mahardono, 1980).
Kaki depan pendek dan kaki belakang panjang berguna untuk melompat. Katak termasuk hewan poikilothermis, dimana suhu katak dipengaruhi oleh lingkungan. Saluran pencernaan dimulai dari rongga mulut, kerongkongan, lambung, usus, dan poros usus. Panjang usus relatif pendek , hal ini bersesuaian dengan makanannya yaitu serangga (Tjitrosoepomo, 1974).
Hampir semua amphibia berkembangbiak dalam air. Sebagian besar bersifat ovipar, fertilisasi terjadi di luar dan telur berkembang menjadi larva yang dapat berdiri sendiri. Fertilisasi katak termasuk fertilisasi eksternal. Katak sawah betina memiliki tubuh yang lebih besar dari kodok jantan. Katak menghasilkan ribuan atau ratusan telur yang memenuhi sebagian besar rongga tubuh (Claude,1988).



III. ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA



A. Alat


Alat–alat yang digunakan adalah bak preparat, gunting bedah, pinset, dan alat penunjuk preparat.


B. Bahan


Bahan yang digunakan adalah Katak Sawah (Rana cancrivora ♀), air kran, kloroform, formalin atau eter, dan tissue.


C. Cara Kerja


Cara kerja praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Katak yang masih hidup mula-mula dibius dengan kloroform atau dengan jarum penusuk.
2. Setelah mati lemas katak diletakkan dengan bagian dorsalnya pada bak preparat.
3. Pengguntingan dimulai dari medio-posterior ke arah anterior kemudian seluruh kulit ventral dilepaskan.
4. Selaput yang menahan organ dalam dengan dindimg tubuh sebelah dorsal (selaput meseterium) digunting dan dibiarkan melekat antara gastrum dan duodenum karena pada selaput ini melekat pankreas.
5. Katak yang telah dibedah diamati bagian-bagian organ dalamnya kemudian dicatat ,digambar, dan diberi keterangan.
B. Pembahasan


Klasifikasi Rana cancrivora menurut Radiopoetro (1988) adalah
Kimgdom : Animalia
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Amphibia
Ordo : Anura
Sub ordo : Diplasiocoela
Familia : Ranidae
Genus : Rana
Spesies : Rana cancrivora
Pengamatan anatomi katak didapatkan hasil bahwa katak sawah (Rana cancrivora) termasuk dalam kelas amphibia dan ordo anura. Tubuh katak terbagi menjadi kepala (caput), badan (truncus), extrimitas anterior (kaki depan), extrimitas posterior (kaki belakang). Menurut Djuanda (1984), katak badannya lebar,mempunyai dua pasang anggota gerak. Anggota depan lebih pendek dan kecil dibandingkan dengan yang belajkang, jari-jarimya hanya empat buah,sedangkan jari-jari anggota belakang ada lima buah. Anggota belakang lebih panjang dan memiliki otot paha yang besar dan kuat karena digunakan untuk meloncat. Untuk memudahkan berenang, diantara jari-jari bagian belakang terdapat selaput renang dan ujung bawah katak mempumyai lubang kloaka sebagai muara saluran pencernaan, saluran lemih dan saluran sperma.
Ciri-ciri umum dari katak sawah antara lain yaitu hidup di darat dan di air, kulitnya berlendir, tubuhnya terdiri atas caput dan truncus,bernafas dengan paru-paru dan kulit. Organ dalamnya tersiri atas jantung, hati, empedu, paru-paru, usus, kloaka, rektum, ureter atau gajih dan lambung (Brotowijoyo, 1995). Kepala katak sawah menyatu pada badan, lubang hidung, dan mata terletak pada bagian atas kepala. Katak mengalami metamorfosis dari insang dan paru-paru untuk bernapas di darat, selain itu kulit juga digunakan untuk bernapas. Beberapa katak hidup di air, oksigen diabsorbsi dengan menggunakan pundi-pundi kulit. Modifikasi pada kulit meningkatkan area permukaan respirasi (Halliday, 1994).
Masa berkembang biak katak jantan dapat dikenali melalui extrimitas posterior, yaitu pada medio ventral jari pertama terdapat penebalan kulit dengan hyperpigmentasi. Penebalan berguna untuk memegang hewan betina pada waktu meletakkan telur-telurnya dalam fertilisasi (Yatim, 1990).
Sistem pencernaan pada katak terdiri atas rongga mulut (cavum oris), faring, oesophagus, gastrum, duodenum, intestine, colon, dan cloaca. Cavum oris ialah lebar. Bangunan-bangunan yang berada di dalam cavum oris ialah dentes dan lingua. Di dasar cavum oris sebelah anterior berpangkal lingua dengan ujung yang bebas di sebelah posterior. Ujungnya berlekuk sehingga tampak bercabang dan oleh karena itu disebut bifida. Lingua dapat dijulurkan keluar dengan cepat yang berfungsi untuk menangkap dan memasukkan mangsanya ke dalam mulut (Radiopoetro,1977).
Kerongkongan adalah salah satu organ pencernaan makanan yang terletak di sebelah dorsal dari tenggorokan. Kerongkongan pada bangsa ikan dan amphibian lebih pendek daripada bangsa reptilian karena pada bangsa ikan dan amphibian tidak mempunyai leher (Kent,1983).
Sistem respirasi terdiri dari paru-paru, laring, glottis. Pertukaran gasnya terdapat di kulit dan paru-paru. Pembuluh darah adalah tempat masuknya oksigen dan keluarnya karbondioksida (Manter et al., 1959).
Mekanisme pernapasan meliputi dua fase,yaitu inspirasi atau menghisap udara ke dalam pulmo dan ekspirasi atau mengeluarkan udara dari pulmo,keduanya dilaksanakan dalam keadaan mulut tertutup. Pernapasan melalui kulit pada katak dapat berlangsung baik di darat maupun di air. Pada stadium larva pernapasan berlangsung melalui insang yang terbentuk dari perluasan epithelium pharynx (Radiopoetro,1977).
Saluran reproduksi betina pada katak, tiap oviduk merupakan suatu saluran sederhana berkelompok yang menjulur dari bagian anterior rongga tubuh ke kloaka. Oviduk mempunyai sel kelenjar yang mensekresi lapisan jeli di sekitar telur, dan bagian bawah melebar untuk penampungan telur sementara, tetapi selain itu oviduk tidak mengalami spesifikasi. Karena katak kawin di dalam air, maka fertilisasi terjadi di luar. Induk katak betina yang bunting namun tidak mendapatkan pejantan yang bersedia mengawininya biasanya akan menyerap kembali telurnya (Susanto,1994).
Menurut Radiopoetro (1977), katak betina memiliki sepasang ovaria yang besar, berupa kantong yang melipat-lipat, terdiri atas banyak lobi. Ovaria yang sudah masak menempati hampir seluruh bagian celom. Telur-telur katak ialah kecil, membulat, berpigment, dan diameternya ± 1,6 mm. Telur bersifat teloecithal. Telur-telurnya dikeluarkan ke dalam air dalam kelompok-kelompok.
Sistem otot rangka pada katak disebut sistem muskuluskeletal. Sistem tersebut terbagi menjadi :
1. Otot-otot pada bagian kepala, terdiri dari :
a. Muscullus submaxillaris dan muscullus submandibularis, serabut-serabutnya mengarah transversal.
b. Muscullus subhyoideus, bentuk seperti pita, transversal posterior dari muscullus submandibularis.
2. Otot-otot pectoral terdiri dari :
a. Muscullus deltoideus,terdiri dari :
- Muscullus pars episternalis,yaitu otot dengan ujung yang menyampit, menempel pada episentrum di bawah muscullus subhyoideus.
- Muscullus pars scapularis, ujungnya menempel pada scapula (tulang bahu).
b. Muscullus pectoralis,terdiri dari :
- Muscullus pars epicoracoidea,ujung menempel pada sternum dan menutupi muscullus coracoradialis.
- Muscullus pars sternalis,ujung pada sternum terdapat posterior dan muscullus pars epicoracoidea.
- Muscullus pars abdominalis,ujumg yang menempel pada dinding lateral dan muscullus rectus abdominis san ujumgnya menempel pada lengan atas.
- Muscullus coracoradialis, ujumg pada coracoid. Letaknya sebelah dorso-anterior pars epicoracoidea dan dorso-posterior dari pars episternalis.

3. Otot-otot daerah abdomen, terdiri dari :
a. Muscullus rectus abdominis, terdapat medio ventral tubuh, di tengahnya terdapat tendo atau urat berwarna putih yang disebut linea alba. Otot ini bersegmentasi karena adanya inscriptio tendinae yang berjumlah empat pasang.
b. Muscullus obliqus externus, serabut-serabut ototnya tersusun miring lateral dan ujungnya menempel pada muscullus rectus abdominis.si bawahnya terdapat muscullus obliqus internus di mana arah daripada serabut-serabut ototnya berlawanan dari arah muscullus di atasnya.
4. Otot-otot pada extrimitas posterior
a. Bagian femur dibangun oleh otot yang letaknya lateral ke medial,berturut-turut :
- Muscullus trisep femoris, otot besar letak paling lateral.
- Muscullus sartorius, otot pipih yang letaknya sebelah medial dari muscullus femoris.
- Muscullus adductor magnus, medial dari muscullus sartorius,dari luar tampak seperti kerucut.
- Muscullus gracillis mayor,otot-otot agak besar pada femur bagian medial.
- Muscullus gracillis minor,bentuk pita tipis.
b. Bagian crus, trdiri dari :
- Muscullus gastronimeus,besar bagian atasnya dilanjutkan nengan tendo achilism
- Muscullus tibialis anticus longus,otot-otot terdepan pada kaki bawah ujungnya melekat pada femur bagian distal dengan perantaraan suatu tendo yang panjang.
- Muscullus tibialis posticus, terletak antara muscullus gastronimeus dan muscullus tibialis anticus longus, ujumgnya melekat sepanjang tibiofibulla.


















KESIMPULAN



Berdasarkan hasil pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Katak Sawah termasuk ke dalam phylum chordata, subphylum vertebrata, class amphibia, ordo anura, familia ranidae dengan nama spesies Rana cancrivora.
2. Tubuh katak terdiri dari caput, trucus, cauda, extrimitas anterior, extrimitas posterior.
3. Katak Sawah (Rana cancrivora) merupakan hewan amphibia yang dapat hidup di dua habitat air dan darat, dengan menggunakan insang, paru-paru, dan kulit.
4. Katak tidak mempunyai cauda karena dapat menghalangi sewaktu melompat.
5. Fertilisasi pada katak termasuk fertilisasi eksternal.
6. Sistem pencernaan katak terdiri atas romgga mulut, kerongkongan, lambung, pankreas, usus, dan kloaka.
7. Sidtem oto rangka pada katak disebut sistem muskuluskeletal. Terdiri atas otot-otot bagian kepala, otot-otot daerah pectorial, otot-otot daerah abdomen, dan otot daerah pada extrimitas posterior.






DAFTAR REFERENSI


Brotowijoyo. 1995. Zoologi Dasar. Erlangga, Jakarta.

Claude A. Vilee, dkk. 1988. Zoologi Umum edisi 6. Jakarta: Erlangga.
Djuhanda, T. 1982. Pengantar Anatomi Perbandingan Vertebrata I. Amico, Bandung.

Halliday, et al. 1994. The Encyclopedia of Reptiles and Amphibian. Andromeda Oxford, Inggris.

Jasin, M. 1989. Sistematik Hewan Vertebrata dan Invertebrata. Sinar Wijaya, Surabaya.

Kent, George C.1983. Comparative Anatomy of the Vertebrata. C.V. Mosby Company St. Louis.

Mahardono, A. 1980. Anatomi Katak. PT Internusa, Jakarta.
Manter, H.W. dkk. 1959. Introduction to Zoology. Harper dan Row Publisher, New York.

Parker, T. J, and W. A. Haswell. 1951. A Text Book of Zoology II. Mac Millan and Co., Ltd., London.

Radiopoetro. 1977. Zoologi. Erlangga, Jakarta.
Susanto, Heru. 1994. Budidaya Kodok Unggul. Penebar Swadaya, Jakarta.
Tjiptrosoepomo, G. 1974. Makhluk Hidup II. Yayasan Usaha Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Walter, H, E & Sayles, L, P. 1959. Biology of The vertebrates. The Macmillan company, Floral Park, N. Y.

Yatim, W. 1990. Biologi Modern: Histologi. Tarsito, Bandung.
I. PENDAHULUAN



A. Latar Belakang


Ikan marupakan organisme akuatik yang memiliki organ kompleks dan terdiri atas beberapa sistem organ yang saling bekerja sama melakukan aktivitas hidup. Ikan termasuk hewan berdarah dingin artinya suhu tubuhnya mengikuti suhu lingkungan srkitar. Ikan umumnya bernafas dengan insang, tetapi ada juga yang dilengkapi dengan labirin yang kerjanya seperti paru-paru.
Ikan terdapat di daerah laut dan daerah perikanan darat. Ikan dapat dibagi ke dalam tiga golongan yaitu ikan peliharaan, ikan buas, dan ikan liar. Salah satu jenis ikan peliharaan adalah Nilem (Osteochillus hasselti) dimana spesies ini banyak dikenal oleh masyarakat luasMorfologi antara ikan Nilem jantan dan betina mempunyai perbedaan. Ikan Nilem betina bentuknya membulat, kurang gesit, bagian operculum halus, perut mengembang ke arah samping dan ke arah lubang pelepasan serta mempunyai gonad yang berwarna kuning. Ikan Nilem jantan perutnya lebih ramping, lebih gesit bagian pipih kasar, perut mengembang, dan gonadnya berwarna putih susu.
Osteochillus hasselti digunakan untuk praktikum untuk mewakili class pisces. Osteochillus hasselti dipilih karena selain mudah didapat, juga murah harganya. Osteochillus hasselti mempunyai organ-organ penyusun yang lengkap dan jelas sehingga mudah diamati struktur tubuhnya.



B. Tujuan
Praktikum ini dilakukan bertujuan untuk mempelajari susunan anatomi tubuh ikan Nilem (Osteocillus hasselti ♀) baik bagian luar maupun dalam.





























II. KERANGKA PEMIKIRAN

Osteocillus hasselti adalah salah satu jenis ikan tawar yang dapat tumbuh dengan baik jika dipelihara di kolam atau sawah. Ikan nilem dapat hidup di daerah tinggi dan rendah yaitu pada ketinggian 200-700 meter. Makanan ikan ini berupa hewan-hewan kecil tetapi juga makanan lain seperti dedak dan ampas (Kirwanto, 1986).
Susunan tubuh ikan terdiri dari bagian luar dan bagian dalam. Susunan tubuh ikan bagian luar terdiri dari kepala, badan, ekor, mulut, cekung hidung, mata, tutup insang, sisik, gurat sisi, sirip perut, sirip dada, sirip punggung, sirip belakang, dan sirip ekor. Sedangkan susunan tubuh bagian dalam adalah saluran pencernaan, gelembung renang, kelenjar pencernaan, insang, jantung, kelenjar kelamin, dan ginjal (Prawirohartono, 1989).
Mulut berahang, skeleton sebagian atau seluruhnya bertulang menulang. Kondrokranium (kranium tulng rawan) dilengkapi oleh tulang dermal tubuh membentuk tengkorak majemuk. Sisik bertipe sikloid yang berasal dari mesodermal. Saat stadium embrio ada 6 celah insang, untuk ikan dewasa biasanya tinggal 4 celah. Insang-insang itu tertutup oleh operkulum (Brotowidjoyo, 1993).
Kulit atau cutis terdiri atas corium atau dermis dan epidermis. Corium terdiri atas jaringan pengikat. Epidermis yang melapisinya dari sebelah luar ialah epithelium. Di antara cel-cel epithelium terdapat kelenjar unicelluler yang mengeluarkan lendir lendir ini menyebabkan kulit ikan menjadi licin. Dalam corium terdapat chromatophor-chromatophor ialah sel-sel yang mengandung butir-butir pigment, yang menentukan warna kulit (Radiopoetro, 1977).


III. ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA
A. Alat


Alat yang digunakan adalah bak preparat, pinset, pisau, gunting bedah, jarum penusuk.

B. Bahan


Bahan yang digunakan adalah Ikan Nilem (Osteocillus hasselti ♀), air kran, dan tissue.

C. Cara Kerja


Cara kerja praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Ikan Nilem dibius dengan kloroform atau dimatikan dengan jarum penusuk.
2. Ikan digunting mulai dari lubang depan anus, sepanjang garis medioventral tubuh ke arah depan depan sampai dekat sirip dada.
3. Bagian belahan daging sebelah atas dibuka dengan menggunakan pinset, pengguntingan dilanjutkan dari anus ke arah tubuh bagian dorsal yang dilanjutkan ke arah anterior sampai ke tutup insang.
4. Pengguntingan bagian kepala dilakukan pada tutup insang bagian dorsal dan ventral sampai ke ujung moncong.
5. Organ-organ dalamnya diamati dan digambar serta diberi keterangan.
6. Untuk Mengetahui otot-otot bagian ekor, maka ekor dipotong melintang dan kemudian diamati.
























B. Pembahasan
Klasifikasi Osteochillus hasselti menurut Brotowidjoyo (1993) adalah sebagai berikut :
Phylum : Chordata
Subphylum : Vertebrata
Class : Pisces
Ordo : Ostariophysi
Familia : Cyprinidae
Genus : Osteochillus
Spesies : Osteochillus hasselti
Hasil pengamatan ikan Nilem didapatkan hasil bahwa tubuh ikan Nilem dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu caput (kepala), truncus (badan), dan cauda (ekor). Batas caput mulai dari moncong sampai bagian belakang tutup insang, batas truncus mulai dari belakang tutup insang sampai anus, sedangkan batas cauda mulai dari anus sampai ujung sirip ekor. Bagian pernapasan terluar yang terdapat pada bagian kepala adalah insang dan empat potong tulang-tulang kecil yaitu operculum, preoperculum, interoperculum, dan suboperculum. Rongga insang terletak antara insang dan operculum, lubang insang berupa celah sempit yang melengkung antara gelang bahu dan operculum (Djuhanda, 1981).
Osteochillis haselti mempunyai tengkorang, vertebrata, penyokong sirip dan sisik dan kesemuanya dari tulang ikan. Ikan semacam ini hanya satu-satunya vertebrata yang mempunyai insang pada kedua pihak dari tubuhnya dan satu ruangan bersama yang tertutup oleh operculum tulang yang dapat bergerak. Gelang pectoral dihubungkan dengan tengkorak oleh rantai tulang. Selalu ada lubang udara.selaput tipis berpasangan didukung oleh jari-jari tulang yang memancar pada pangkal sirip. Sirp tidak mempunyai penonjolan lunak sirip-sirip ikan lain.pola tulang-tulang tengkorak dan sirip-sirip ikan lain. Pola tulang –tulang tengkorak dan sifat dasar sistem saraf dan saluran reproduksinya kelihatan nyata (Djuanda, 1983).
Ikan Nilem tergolong dalam phylum chordata karena mempunyai penyokong tubuh yang tersusun atas ruas-ruas tulang dari cranium, truncus, dan caudal. Ciri-ciri Ikan Nilem yaitu bentuk badannya agak memanjang oksigen yang terdapat dalam air berdifusi ke dalam sel-sel insang. Insang mengandung darah yang mengangkut oksigen dari insang ke jaringan sebelah dalam dari badan. Darah mengalir dari insang ke anyaman kapiler di bagian badan selebihnya, dan pertukaran bahan makanan terjadi dengan jaringan kemudian darah kembali ke jantung. Sistem tersebut telah tertutup karena terdapat di dalam pembuluh di seluruh peredaran (Kimball, 1991).
Alat pernafasan yang digunakan adalah insang. Insang berbentuk lembaran-lembaran tipis berwarna merah muda dan selalu lambab. Tiap lembar insang terdidri atas sepasang filament yang mangandung banyak lapisan Vesica metatoria (gelembung renang) berfungsi sebagai alat hydrostatis dengan menyesuaikan diri ke dalam air. Penyesuaian ini dilakukan dengan jalan mengeluarkan dan memasukkan (menyerap) gas-gas dari pembuluh darah. Pada ikan tertetipis (lamella). Pada filament terdapat pembuluh darah yang mempunyai banyak kapiler sehingga memungkinkan oksigen berdifusi masuk dan karbondioksida berdifusi keluar. Pada insangf ikan bertulang sejati ditutupi oleh operculum (Milne, 1962).
Menurut Hildebrand (1995) ikan Nilem memiliki organ-organ pencernaan berupa intestine, hepar, dan vesica felea. Lien dan vesica felea terdapat disebelah dalam intestine, dan akan tampak setelah intestine direntangkan. Ductus choleoduchtus merupakan saluran pada empedu yang menghubungkan kantung empedu dengan usus melalui saluran empedu pendek. Menurut Storer and Usinger (1961), sistem pencernaan ikan terdiri dari : rahang ikan mempunyai banyak gigi kecil berbentuk kerucut untuk mengunyah makanan dan lidah kecil dalam di dasar rongga mulut membantu gerakan respirasi. Farink terdapat insang di sisi dan samping lalu ke esophagus pendek mengikuti hingga timbul lambung atau gastrum. Pyloric value terpisah belakang dari intestine. Tiga tubular pyloric caeca, fungsi mengabsorpsi, mengambil ke intestine. Tiga hati besar di dalam rongga tubuh dengan kantung empedu dan saluran ke intestine. Pankreasnya tidak jelas.
Hepar pisces terdiri dari dua lobi. Vesica felea dari hepar berjalan ductus hepaticus yang kemudian bersatu dengan ductus cysticus yang berjalan dari vesica fellea, dan menjadi ductus choledochus yang bermuara ke dalam duodenum (Radiopoetro, 1977).
Menurut Ville et al. (1964), pada sejumlah hewan laut dan hewan air tawar, telur dan sperma dilepaskan ke dalam air di sekitarnya dan fertilisasi terjadi di luar tubuh dan fertilisasi ini disebut fertilisasi eksternal. Ikan jantan terdapat testis yang panjang. Testis terletak ventral dari ren. Ujung caudal mulai vas defferens yang bermuara ke dalam sinus urogenitalis. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan.
Sistem urinaria atau eksresi pada ikan adalah ren yang terjadi dari mesonephros, ureter yang terjadi dari ductus mesonephridicus, vesica urinaria, dan sinus urogenitalis. Sepasang ren yang memanjang sepanjang dinding dorsal abdomen, kanan dan diri dari linea mediana. Ureter ialah saluran yang keluar dari ren. Selanjutnya, ureter membesar dan membentuk vesica urinaria. Ureter bermuara ke dalam sinus urogenitalis. Sinus urogenitalis bermuara keluar melalui porus urogenitalis yang terdapat caudal dari anus, cranial dari pangkal pinna analis (Radiopoetro, 1977).
Telinga ikan hanya terdiri dari telinga dalam berupa saluran-saluran semiskuler sebagai organ keseimbangan. Jantung berkembang baik, sirkulasi menyangkut aliran darah jantung melaluininsang ke seluruh bagian tubuh lain. Tipe ginjal ikan adalah pronepros dan mesonepros (Brotowijoyo,1995).
Menurut Radiopoetro (1977), Sistem genitalia pada ikan Nilem betina terdiri dari sepasang ovaria yang panjang. Ovaria ini mempunyai rongga yang ke caudal melanjutkan diri ke dalam oviduct,yang bermuara ke dalam sinus urogenitalis. Setelah umur satu tahun, Osteochillus hasselti biasanya telah dewasa. Fertilisasi dilakukan di dalam air. Telur-telur dilekatkan kepada tumbuh-tumbuhan yang ada di dalam air.
Sirip-sirip pada ikan umumnya ada yang berpasangan dan ada yang tidak. Sirip punggung (dorsal fin), sirip ekor (caudal fin), dan sirip dubur (anal fin) disebut sirip tunggal atau sirip tidak brpasangan. Macam-macam sirip ekor dapat dibedakan berdasarkan bentuk sirip tersebut. Bentuk sirip ekor ikan ada yang simetris, apabila lembar sirip ekor bagian dorsal sama besar dan sama bentuk dengan lembar bagian ventral, ada pula bentuk sirip ekor yang asimetris yaitu bentuk kebalikannya. Sirip ikan Nilem (Osteochillus hasselti) mempunyai bentuk bercagak, yaitu terdapat kekukan tajam antara lembar dorsal dengan lembar ventral (Kottelat et al., 1993).






















V. KESIMPULAN



Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Tubuh ikan nilem terdiri atas caput, truncus dan cauda di mana antara caput dan truncus tidak ada batas yang jelas dan sebagai batas antara truncus dan ekor adalah anus. Ikan juga mempunyai indra ke enam yaitu gurat sisi (linea lateralis).
2. Ikan nilem termasuk hewan berdarah dingin, yang artinya suhu tubuhnya menyesuaikan dengan lingkungannya.
3. Ikan nilem mempunyai tipe cycloid yaitu mempunyai garis-garis melingkar dan radier serta di tengahnya terdapat kumpulan pigmen. Dari garis melingkar ini dapat diketahui umur ikan tersebut.
4. Fertilisasi pada ikan nilem adalah fertilisasi eksternal
5. Ikan Nilem memiliki sirip di bagian dada (pectoral fin), perut (abdominal fin), ekor (caudal fin), dubur (anal fin) dan punggung (dorsal fin).
6. Sistem pencernaannya terdiri atas lidah, hati, gastrum, intestine, pankreas, kantung empedu.
7. Sistem pernafasan ikan Nilem terdiri dari insang dan vesica metatoria (gelembung renang).
8. Sistem eksresi atau urinaria pada ikan Nilem terdiri dari ren, ureter, vesica urinaria, dan sinus urogenitalis.
9. Sistem genitalia pada ikan Nilem betina terdiri atas sepasang ovaria yang panjang, oviduct, dan sinus urogenitalis.
DAFTAR REFERENSI

Brotowidjoyo, M. 1993. Zoologi Dasar. Erlangga, Jakarta.
Djuhanda, T. 1981. Anatomi dari Empat Species Hewan vertebrata. Armico, Bandung.

Hildebrand, M. 1995. Analysis of Vertebrate Structure. John Willey and Sons, Inc, New York.

Jasin, M. 1989. Sistematika Hewan. Sinar Jaya, Surabaya.
Kimball, J. W. 1991. Biologi Jilid II. Erlangga, Jakarta.
Kirwanto, M. 1986. Mengenal Ikan Air Tawar. KaryaBani, Jakarta.
Kottelat, M., A.J. Whitten, S.N. Kartikasari & S. Wirjoatmodjo. 1993. Fresh
Water Fishes of Western Indonesia and Sulawesi. Periplus Editions Limiter, Jakarta

Prawirohartono. 1989. Biologi. Erlangga, Jakarta.
Radiopoetro. 1977. Zoologi. Erlangga, Jakarta.
Storer, I. Tracy; Usinger, Robert L. 1957. General of Zoology. Mc Graw Hill Book Company Inc. New York.

Ville, C. A., W. F. Walker,and Frederick E. S. 1964. General Zoology Second Edition. W. B. Saunders Company, Philadelphia and London.
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Mabouya multifasciata atau kadal adalah salah satu jenis reptilia yang hidup di darat. Kadal ini merupakan jenis kelompok kadal yang paling banyak di Afrika, kepulauan Indonesia, dan Australia. Jumlah spesies kadal ini melampaui jumlah familia reptil yang lainnya. Separuh atau lebih spesies terdapat di Asia Tenggara dan hanya kira-kira 50 spesies saja yang berada di belahan bumi barat.
Kadal adalah vertebrata dengan kulit kering, tertutup oleh sisik-sisik atau papan-papan epidermal. Tengkorak biasanya sedikit tertekan lateral, dengan sebuah kondil oksipital. Sabuk-sabuk badan (girdle) tumbuh baik. Tubuh kadal terbagi menjadi tiga bagian,yaitu kepala (caput), badan (truncus), dan ekor (cauda). Tubuh kadal ditutupi oleh kulit yang kering dengan sisik-sisik zat tanduk di permukaannya tanpa adanya kelenjar-kelenjar lendir.
Kadal bernafas dengan paru-paru yang strukturnya lebih kompleks dari amphibian. Ginjal kadal bertipe metanerfos. Fertilisasinya internal dan bersifat ovovivipar yang menghasilkan telur dengan banyak kuning telur. Telur itu tumbuh dan berkembang dalam oviduk (saluran telur) hewan betina. Saluran telur itu disebut uterus.
Mabouya multifasciata digunakan sebagai preparat praktikum untuk mewakili class reptilian. Praktikum ini menggunakan Mabouya multifasciata karena hewan ini tidak berbisa sehingga tidak berbahaya. Selain itu, hewan ini mempunyai struktur morfologi dan anatomi yang mudah diamati.

B. Tujuan


Tujuan dari praktikum ini untuk mempelajari dan mengamati susunan anatomi kadal (Mabouya multifasciata ♂) baik bagian luar maupun dalam.




















II. KERANGKA PEMIKIRAN



Hewan yang termasuk ordo squamata adalah kadal (Mabouya multifasciata). Hewan ini diduga masih nenek moyang Sphedom puntatum. Kulit kadal pada umumnya diliputi oleh lapisan squama epidermal yang bentuknya sudah menanduk, tetapi kadang-kadang di bagian bawah disokong oleh lamina derminalis yang menulang dan tulang pelepasannya hampir selalu berupa celah yang transversal. Mulut kadal sukar dibuka karena dibagian rahang bawah bersatu (Manter and Miller, 1959).
Kelebihan utama reptilia adalah perkembangan telurnya. Telur tersebut bercangkang dan berisi kuning telur. Telur ini dapat diletakkan di atas tanah tanpa kemungkinan kering (Kimball, 1991).
Fertilisasi kadal termasuk fertilisasi internal. Kadal bersifat ovovivipar dan menghasilkan telur dengan banyak kuning telur, dan telur itu tumbuh dan berkembang dalam oviduk hewan betina. Embrio dikelilingi oleh amnion, horion, dan alantois (Brotowidjoyo, 1993).
Kadal (Mabouya multifasciata) mempunyai karakteristik diantaranya, badannya tertutup oleh squama yang menanduk dan tidak berlendir, mempunyai dua pasang kaki dengan tiga digiti yang vascular, bernafas dengan pulmo dan fertilisasinya secara internal, serta mempunyai alat kopulasi berupa sepasang hemipenis (Radiopoetro, 1989). Penyesuaian diri menyangkut pola dasar pada kulit bahwa epidermis membentuk sisik-sisik tanduk sebagai pembungkus sempurna dari tubuh. Sambungan antara sisik dengan daerah kulit, dimana materi tanduk berbenuk tapis dan melipat-lipat (Djuhanda, 1982).
III. ALAT, BAHAN, DAN CARA KERJA



A. Alat


Alat yang digunakan adalah bak preparat, pinset, pisau, gunting bedah, jarum penusuk.
B. Bahan


Bahan yang digunakan adalah Kadal (Mabouya multifasciata ♂), air kran, kloroform, formalin, dan tissue.

C. Cara Kerja


Cara kerja praktikum ini adalah sebagai berikut:
1. Kadal dimasukkan ke larutan eter dan dibiarkan sampai mati lemas.
2. Setelah mati kadal dibedah. Pembedahan dimulai dengan pengguntingan di depan lubang kloaka ke sisi kiri dan kanan tubuh kemudian ke arah depan melewati kaki depan smpai ke tengah rahang atas.
3. Hemipenis kadal dapat diketahui dengan cara menekan pangkal ekor.
4. Bagian-bagian rongga mulut dapat diketahui dengan cara menggunting kedua sudut mulut lebar-lebar, rahang dibuka kemudian ditarik bagian atas dan bawah, maka bagian dalam akan kelihatan.
5. Bagian-bagian dalam tubuh reptil diamati dan digambar serta diberi keterangan gambar.


B. Pembahasan
Klasifikasi Mabouya multifasciata, menurut Djuhanda (1982) adalah sebagai berikut:
Phylum : Chordata
Sub phylum : Vertebrata
Class : Reptilia
Ordo : Squamata
Subordo : Lacertilia
Family : Scincidae
Genus : Mabouya

Spesies : Mabouya multifasciata
Mabouya multifasciata mempunyai ciri tubuh yang memanjang kurang dari 30 cm, tertekan lateral, berkaki empat dan dapat digunakan untuk memanjat. Mandibula bersatu engan anterior dan tulang pterigoid, berkontrak dengan tulang kuadrat. Sabuk pectoral berkembang baik dan memiliki mulut. Hewan ini juga mempunyai ekor yang digunakan untuk keseimbangan gerak ketika berlari.(Brotowidjojo,1990).
Sistem respirasi pada Mabouya multifasciata sudah setingkat lebih tinggi, bila dibandingkan dengan respirasi pada Rana sp. Rana sp tidak mempunyai trakhea, sedangkan pada Mabouya multifasciata sudah mempunyai trakhea (Radiopoetro, 1989).
Jantung kadal terdiri atas sinus venosus, dua atrium, dan satu ventrikel terbagi oleh sekat yang belum sempurna. Darah bersih dan darah kotor bercampur di dalam ventrikel. Atrium kanan dan atrium kiri dipisahkan oleh septum atrium. Darah dari atrium dextra mengalir menuju paru-paru melalui vena pulmonalis. Darah ini banyak mengandung karbondioksida. Di dalam paru-paru darah mengikat oksigen dan mengalir kembali menuju atrium sinista melalui arteri pulmonalis. Kemudian darah mengalir menuju ventrikel dan di ventrikel darah dipompa menuju seluruh tubuh masuk dalam jaringan–jaringan tubuh. Dari jaringan tubuh darah mengalir menuju jantung. Darah ini banyak mengandung karbondioksida. Peredaran darah seperti ini disebut peredaran darah ganda (Djuhanda, 1982).
Sistem peredaran darah pada kadal adalah peredaran ganda yang strukturnya hampir sempurna. Menurut Weichert (1984), pada reptil conusnya terbagi menjadi tiga saluran,yaitu :
- Truncus pulmonalis,yaitu conus yang mengarah ke paru-paru,
- Truncus sistemik kiri,
- Truncus sistemik kanan,yang keluarnya dari truncus sistemik kiri dan kanan mengarah ke peredaran darah umum atau seluruh tubuh.
Truncus sistemik yang sebelah kanan pada kadal cenderung berhubungan pada ventrikel kiri dan atrium kanannya berhubungan dengan ventrikel kiri,sehingga darah campuran akibatnya cenderung memasuki ke lengkung sistemik kiri dan darah yang mengangkut oksigen masuk ke dalam lengkung kanan. Hal ini mungkin disebabkan tidak adanya persamaan antara septum inter-atrial, septum inter-ventriculer, dan klep-klep di dalam conus. Sistem pencernaannya terdiri dari hepar, gastrum, lien, pankreas, duodenum, ductus choleodocus, rectum dan kloaka. Pada reptilia selain mempunyai kelenjar ludah, yang letaknya di dasar rongga mulut, dilengkapi juga kelenjar rongga mulut di depan antar lidah dan bagian depan dari rahim bawah. Kerongkongan adalah salah satu organ pencernaan makanan yang terletak di sebelah dorsal dari tenggorokan, dinding kerongkongan sebagian besar strukturnya terdiri dari otot polos. Kadal mempunyai bentuk kerongkongan yang lebih panjang daripada bengsa ikan dan amphibi karena pada kadal sudah memiliki leher.
Intestinum (usus) adalah salah satu organ sistem pencernaan yang bentuknya mirip seperti selang atau saluran, mulai dari bagian pylorus sampai pada bagian kloaka atau anus. Pada bangsa vertebrata tingkat tinggi bentuk ususnya panjang dan berkelok-kelok. Pankreas terletak di bagian duodenum. Pancreas pada umumnya terdiri dari dua bagian : bagian eksokrin yang menghasilkan getah pankreas dan fungsinya untuk membantu dalam pencernaan makanan, kemudian bagian endokrin yang menghasilkan hormon insulin yang berfungsi untuk mengendalikan kadar gula dalam darah. Pada kadal pankreas terdapat pada pertemuan antara lambung dengan duodenum (Orr, 1976).
Sistem urogenital kadal terdiri dari sepasang ginjal. Dari ginjal keluar ureter yang bermuara pada kloaka. Pada pangkal ureter terdapat vesica urinaria. Organ urogenital jantan terdiri dari sepasang testis, epididimis, vas defferens dan sepasang hemipenis. Hemipenis merupakan alat kopulasi yaitu untuk memasukan sperma dalam tubuh kadal betina. Oleh karena, kadal mempunyai alat kopulasi maka kadal mengadakan fertilisasi internal (Jasin, 1989).








V. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dan pembahasan sebelumnya dapat disimpulkan bahwa :
1. Kadal badannya diliputi oleh sisik (squama) terutama pada bagian leher (collum) tampak jelas sekali, biasanya anggota badannya (extremitas) anterior dan posterior sama panjangnya.
2. Sistem genital jantan pada kadal (Mabouya multifasciata) terdiri dari testis, epidydimis, ginjal, vas defferens, ureter, hemipenis, dan vesica urinaria sedangkan pada betina adalah oviduct, uterus, ovarium, ginjal, ureter, dan vesica urinaria.
3. Sistem pencernaan pada kadal (Mabouya multifasciata) adalah lambung, hepar, ductus koleoductus, pankreas, intestin, vesica pelea, dan rectum.
4. Ciri-ciri kadal (Mabouya multifasciata) antara lain yaitu hidup di darat, tubuhnya ditutupi oleh sisik (bercarapace) atau kulit kering yang mananduk (kasar), memiliki ekor dan bernafas dengan paru-paru.
















DAFTAR REFERENSI
Brotowidjoyo, M. D. 1990. Zoologi Dasar. Erlangga, Jakarta.
Djuhanda. 1982. Anatomi Dari 4 Spesies Hewan Vertebrata. Armico, Bandung.
Jasin. M. 1989. Sistematika Hewan Invertebrata dan Vertebrata. Sinar Wijaya, Surabaya.

Kimball, J. W. 1990. Biologi Jilid 2. Erlangga, Jakarta.
Manter, H. W. and Miller, D. D. 1959. Introduction to Zoology. Harper and Row Publisher, New York.

Orr, T, Robert. 1976. Vertebrate Biology 4th Edition. WB. Sounders Company, Philadelphia.

Radiopoetro. 1989. Zoology. Erlangga, Jakarta.
Storer. 1978. General Zoology. Mc Graw-Hill, Inc, New York.
Weichert, Charles K. 1984. Element of Chordate Anatomy 4th Edition. McGraw Hill Publishing Company Limited, New Delhi.
MySpace Layouts